Filesatu.co.id, Banyuwangi | Di tengah derasnya arus modernisasi, satu nama masih bertahan di sudut kampung Trembelang, Desa Cluring, Banyuwangi. Pakde Ucup. Pria bernama asli Sokram Yusuf ini tak sekedar membuat anyaman bambu, ia sedang menyulam jejak-jejak peradaban yang nyaris dilupakan.
Di usia 65 tahun, Pakde Ucup mungkin tinggal satu-satunya di kampungnya yang masih setia bergelut dengan bambu. Bagi sebagian orang, bambu hanyalah tanaman biasa. Namun bagi Pakde Ucup, bambu adalah hidup, adalah warisan, dan adalah cara ia bertahan dari waktu ke waktu.
“Usaha ini saya tekuni sejak remaja. Awalnya cuma coba-coba buat wadah makanan, eh malah banyak yang suka, lalu pesan,” kenangnya, pada Rabu (25/6/2025).
Dari bambu-bambu apung yang ia beli dari pengepul di Kecamatan Gambiran, tangan Pakde Ucup menciptakan berbagai bentuk seperti caping, tompo (wadah nasi), keranjang, kandang ayam, hingga tusuk sate. Setiap hari, ia bisa menyelesaikan hingga 25 buah anyaman, tergantung pesanan.
Namun, kejayaan anyaman bambu perlahan memudar. Bukan karena tak laku, produk Pakde Ucup masih laris manis di pasar Cluring, Jajag, hingga Benculuk. Melainkan karena tak ada yang mau melanjutkan. Tiga anaknya memilih jalan lain, dan sejauh mata memandang, tak ada tangan muda yang siap menerima tongkat estafet warisan itu.
“Pegang hape aja nggak bisa, apalagi pasarkan secara online,” tuturnya.
Kini, di tengah serangan asma yang kerap datang tiba-tiba, Pakde Ucup masih duduk di bilik bambunya, menganyam, menahan nyeri, dan mengasapi hasil kerajinan agar tak dijamuri dikala musim hujan. Harga produknya pun sangat terjangkau, mulai dari Rp3 ribu hingga Rp25 ribu per buah.
Tak jarang ia bertanya dalam hati, apakah anyaman bambu akan hilang dari kampungnya, dari Banyuwangi? Tapi satu hal pasti, ia tidak akan menyerah.
“Sampai tangan ini tak kuat, baru saya akan berhenti. Ini bukan sekadar penghasilan, tapi menjaga warisan nenek moyang,” ucapnya.
Di saat banyak orang sibuk mencari yang instan, Pakde Ucup memilih jalan sunyi, mempertahankan jati diri kampungnya lewat anyaman bambu. Jika tak ada yang meneruskan, mungkin kelak hanya cerita tentang seorang lelaki tua yang duduk di sudut Trembelang, yang akan mengingatkan kita pada nilai dari kerja tangan dan ketekunan.