Desa Budaya Gaprang: Kisah Dari Keluarga Menuju Kampung Bhineka Pembakti Pancasila

Desa Budaya Gaprang di nilai telah mampu menggerakan warganya untuk mengamalkan nilai-nilai pancasila, hal ini menjadi perhatian khusus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dengan pemberian penghargaan sebagai Kampung Bhineka Pembakti Pancasila.

FILESATU.CO.ID.BLITAR­ – Desa Budaya Gaprang di nilai telah mampu menggerakan warganya untuk mengamalkan nilai-nilai pancasila, hal ini menjadi perhatian khusus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dengan pemberian penghargaan sebagai Kampung Bhineka Pembakti Pancasila.

Bacaan Lainnya

Penyerahan Piagam penghargaan diserahkan langsung oleh Wakil Kepala BPIP Prof. Hariyono di Kampung Mudjair. Menurut Asharul Fahruda, ST., Kepala Desa Gaprang, penghargaan ini karena masyarakat Gaprang sangat menjujung tinggi nilai toleransi antar umat beragama. Senin,(16/11/2020)

“Di Gaprang ini ada jalan, dimana terdapat Masjid, Gereja, dan Pure dalam satu jalur jalan tersebut, walaupun tempat ibadah berdampingan toleransi antar umat beragama selalu terjaga, kerja sama antar umat beragama juga terjalin dengan baik di berbagai kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan,” ungkap Mantan Ketua Himapeta.

Budaya kerjasama antar umat beragama masyarakat Gaprang bisa terlihat di setiap kegiatan masyarakat, ketika umat Islam membangun mushola maka umat Katolik dan Hindu selalu ikut bergotong royong, bahkan tidak jarang lebih dulu datang, begitu juga sebaliknya tanpa memandang agama apapun.

Pada kesempatan yang sama, menurut Asharul budaya toleransi dan kerjasama masyarakat yang baik ini tidak bisa di lepaskan kiprah para tokoh masyarakat Gaprang terdahulu dalam perannya.

“Dulu di jalan (tempat masjid, gereja, dan pure berdiri) banyak satu keluarga yang berbeda agama, orang tuanya Nasrani anaknya Islam atau Hindu, begitu sebaliknya, artinya berawal dari ikatan keluarga, kemudian tahun 2014 ada tiga tokoh penggerak untuk mewujudkan kerukunan antar umat agama, yaitu Kyai Nur Hasan Abdulloh, Pendeta Muji, dan Bapak Mongit,” imbuhnya.

Pada tahun 2014 itulah, ketiga tokoh masyarakat menggagas untuk di adakannya do’a bersama tiga Agama pada malam tanggal 17 Agustus dan kegiatan tersebut terus terjaga hingga saat ini.

Sebagaimana disebut Gaprang sebagai Desa Budaya, hal ini tidak lain karena di desa ini tersimpan situs kekunaan, yang konon ketika di pindahkan ke pendopo paginya sudah kembali sendiri. Terkait inipun masyarakat Gaprang tetap menjaga toleransi dan selalu menjaga kearifan lokal yang di miliki.

“Alhamdulillah ummat beragama di Gaprang sangat menghargai dengan adanya peninggalan leluhur, karena masyarakat Gaprang bisa membedakan agama dan budaya,” pungkasnya. *(sams.K.info).

Tinggalkan Balasan