Mega Korupsi Bank Plat Merah Sumsel: Kejati Tetapkan 6 Tersangka, Kerugian Negara Capai Rp1,18 Triliun

Kejati Tetapkan 6 Tersangka, Kerugian Negara Capai Rp1,18 Triliun
Kejati Tetapkan 6 Tersangka, Kerugian Negara Capai Rp1,18 Triliun

Filesatu.co.id, PALEMBANG | KASUS dugaan tindak pidana korupsi mega kredit perbankan di Sumatera Selatan mencapai babak baru. Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel) secara resmi menetapkan enam orang sebagai tersangka. Kasus ini terkait pemberian fasilitas pinjaman/kredit fantastis dari salah satu bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau yang sering disebut “bank plat merah” kepada dua korporasi besar, yakni PT BSS dan PT SAL. Penetapan tersangka ini diumumkan pada Selasa, 11 November 2025.

Penetapan enam tersangka ini merupakan tindak lanjut dari Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejati Sumsel yang dikeluarkan pada Senin, 10 November 2025. Penyidik menyatakan telah mengantongi bukti yang cukup (minimal dua alat bukti) sesuai Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Total nilai kasus ini mencapai sekitar Rp 1,6 Triliun, dengan estimasi kerugian keuangan negara bersih yang belum tertutupi mencapai angka mencengangkan: Rp 1,18 Triliun.

Bacaan Lainnya

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sumsel, Vanny Yulia Eka Sari, SH MH, memimpin konferensi pers dan merilis identitas keenam tersangka yang ditahan maupun yang sedang menjalani perawatan medis. Para tersangka ini berasal dari unsur direksi perusahaan penerima kredit dan juga dari jajaran internal bank “plat merah” tersebut.

Keenam tersangka tersebut adalah WS yang merupakan Direktur PT BSS (sejak 2016) sekaligus Direktur PT SAL (sejak 2011), dan MS yang menjabat Komisaris PT BSS (2016–2022). Tiga tersangka berasal dari internal Bank BUMN di Divisi Kantor Pusat dan Divisi Agribisnis, yaitu DO (Junior Analis Kredit Grup Analis Risiko Kredit), ML (Junior Analis Kredit Grup Analis Risiko Kredit), dan ED (Account Officer/Relationship Manager Divisi Agribisnis). Tersangka terakhir adalah RA (Relationship Manager Divisi Agribisnis Kantor Pusat).

Dari enam tersangka, lima orang telah langsung dilakukan penahanan selama 20 hari terhitung mulai tanggal 10 hingga 29 November 2025, yaitu MS, DO, ED, RA, dan ML. MS, DO, ED, dan RA ditahan di Rutan Kelas I Palembang, sementara ML ditahan di Lapas Perempuan Kelas IIb Merdeka Palembang. Tersangka WS belum ditahan karena sedang menjalani perawatan di salah satu rumah sakit. Tindakan penahanan ini diambil untuk mempermudah proses penyidikan lebih lanjut dan mencegah upaya penghilangan barang bukti atau intervensi terhadap saksi.

Kasus ini berakar pada proses pengajuan dan pemberian kredit investasi kebun inti dan plasma kelapa sawit yang disalahgunakan sejak tahun 2011 hingga 2013.

  1. Awal Kredit: Pada tahun 2011, PT BSS melalui WS mengajukan permohonan kredit investasi sebesar Rp 760,856 miliar. Dua tahun berselang, pada tahun 2013, PT SAL menyusul dengan pengajuan kredit serupa senilai Rp 677 miliar.
  2. Tambahan Plafon: Kedua perusahaan tersebut kemudian memperoleh tambahan fasilitas kredit untuk pembangunan pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) dan modal kerja, sehingga total plafon kredit menjadi sangat besar: PT SAL (Rp 862,25 miliar) dan PT BSS (Rp 900,66 miliar).

Modus operandi utama terletak pada proses analisis kredit. Tim bank yang bertugas menyusun memorandum analisis kredit (MAK) diduga kuat memasukkan data dan fakta yang tidak benar. Informasi palsu ini mencakup evaluasi terhadap agunan yang dijaminkan, proses pencairan dana plasma untuk petani, dan realisasi pembangunan kebun yang tidak sesuai standar atau tujuan awal. Akibatnya, meskipun proses bisnis tidak sehat, kredit tetap disetujui dan dicairkan. Kredit fantastis ini kemudian berujung pada status kolektibilitas 5 (macet total).

Menurut hasil perhitungan sementara, estimasi total kerugian keuangan negara dari kasus ini mencapai Rp 1.689.477.492.983,74 (sekitar Rp 1,69 triliun). Namun, Kejati Sumsel telah bergerak cepat dalam upaya penyelamatan aset.

Sebelum penetapan tersangka, Kejati Sumsel berhasil melakukan penyitaan aset dan uang tunai senilai Rp 506,15 miliar terkait perkara yang sama. Setelah dikurangi nilai aset hasil lelang dan sitaan tersebut, kerugian bersih yang belum tertutupi oleh negara mencapai angka yang sangat besar, yaitu Rp 1.183.327.492.983,74 atau sekitar Rp 1,18 triliun. Angka ini menempatkan kasus ini sebagai salah satu mega korupsi terbesar di sektor perbankan daerah dalam beberapa tahun terakhir.

Kasi Penkum Kejati Sumsel, Vanny Yulia Eka Sari, menegaskan bahwa penetapan dan penahanan ini menjadi bukti nyata komitmen penegak hukum untuk memberantas korupsi di sektor perbankan, khususnya yang melibatkan kredit besar dan korporasi besar.

“Langkah ini merupakan bagian tak terpisahkan dari komitmen Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dalam menegakkan supremasi hukum dan melindungi keuangan negara dari segala bentuk penyimpangan yang terstruktur. Kasus ini menuntut transparansi dan akuntabilitas tinggi,” ujar Vanny.

Proses penyidikan selanjutnya akan terus berjalan secara intensif. Tim penyidik Kejati Sumsel memiliki fokus utama untuk mengungkap kemungkinan keterlibatan pihak-pihak lain yang lebih luas, termasuk aktor intelektual atau “aktor di balik layar” yang memuluskan pemberian kredit macet ini. Tujuan akhir Kejaksaan adalah memastikan setiap rupiah uang negara bisa dipulihkan kembali dan para pelaku kejahatan mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai undang-undang yang berlaku. ***

 

Tinggalkan Balasan