Asisten II Bidang Ekonomi & Pembangunan Tuti Komariyati dan Hakim Catur Yulianto ( foto by Anam )
FILESATU.CO.ID, BLITAR – Realisasi penerimaan cukai rokok tahun 2020 secara nasional mencapai Rp 170,2 T, sedangkan untuk target tahun 2021 naik menjadi Rp 173,7 T. Penerimaan negara sebesar itu disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) Jawa Timur II, Oentarto Wibowo pada 26 Februari 2021 lalu.
Sebagian penerimaan Cukai Rokok juga di tranfer ke pemerintah daerah secara langsung melalui Dana Bagi Hasil, yaitu : Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) , dimana tahun 2020 Propinsi Jatim menerima alokasi DBHCHT sebesar Rp 1,6 T dan pada tahun 2021 ini menerima Rp 1,9 T.
Perubahan penggunaan anggaran DBHCHT yang diijinkan telah menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah daerah untuk mampu menyerap anggaran tersebut secara maksimal.
Hal tersebut disampaikan oleh Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan kabupaten Blitar, Tuti Komariyati melalui Kasubag SDA Bagian Perekonomian Pemerintah, Hakim Catur Yulianto, di ruang kerjanya Jl. Kusuma Bangsa Kanigoro Blitar, Selasa, 02/03/2021.
“Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tahun 2020 ini alokasi penggunaan DBHCHT mengalami banyak perubahan dibanding tahun sebelumnya, untuk alokasi penggunaannya 25% untuk kesehatan, 25% penegakan hukum dan 50% untuk kesejahteraan masyarakat,” menurutnya berdasar Permenkeu 2020.
Baca Lainnya:
- Pilih Ketua Baru, ASKOT-PSSI Kota Malang Akan Gelar Kongres
- Riyono S.H: Lewat Forum Kita Perjuangkan Hak Kepala Desa
- Bagikan masker, Pemdes Gambiran Berharap Masyarakat Patuhi Prokes
Alokasi untuk kesejahteraan masyarakat (50%), yang 15% untuk kegiatan peningkatan kualitas bahan baku, dalam hal ini untuk pelatihan peningkatan kualitas tembakau; penanganan panen dan pasca panen; dan/atau dukungan sarana dan prasarana usaha tani tembakau dan lainlain yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku.
Untuk alokasi yang 35% dari kesejahteraan masyarakat, juga telah diatur peruntukannya, yaitu: Bantuan langsung tunai kepada buruh tani tembakaudan / atau buruh pabrik rokok; Bantuan pembayaran iuran jaminan perlindungan produksi tembakau bagi petani tembakau; subsidi harga tembakau.
Hal ini yang menurut Catur Yulianto menjadi kendala yang dihadapi bagi pemerintah daerah karena kurangnya perangkat pendukung yang tersedia.
“Ada perubahan yang mendasar terkait obyek, dulu tidak ada batasanya penting buat masyarakat, sekarang di batasi khusus untuk buruh tani tembakau dan buruh pabrik rokok ini sudah sangat mempersempit. Kalaupun kita mengarah KIP kita belum siap dalam arti kita belum ada studi kelayakan untuk kawasan mana yang sesuai, kedua kita belum punya master plant dimana untuk kawasan industri tembakau,” ungkapnya kepada filesatu.
“Kemudian jika DBHCHT di gunakan untuk subsidi harga tembakau, itu juga akan menjadi persoalan di masyarakat karena akan dianggap menguntungkan pengusaha rokok agar dapat harga bahan baku lebih murah, dan ini makin membingungkan pemerintah daerah,” Pungkasnya.
Catur Yulianto juga menyampaikan dua kala saat rapat dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, jika ada pertanyaan dari daerah terkait hal tersebut, mereka berusaha untuk menghindarinya. (Sams).