Filesatu.co.id, KARAWANG | DALAM proses pengadaan barang dan jasa, salah satu tahapan yang paling krusial bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Penyusunan HPS akan menentukan proses penawaran oleh penyedia barang dan jasa.
Hal demikian diduga terjadi pada kegiatan pembangunan konstruksi di Bidang Jalan dan Jembatan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Karawang, yang diduga penyebabnya adalah Human Error? Sehingga atas permasalahan tersebut, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat pada Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Karawang membludak.
Secara definisi, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) adalah harga barang/jasa yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan.
Nilai total HPS bersifat terbuka dan bukan rahasia, kecuali rincian HPS per item kegiatan/pekerjaan. Yang dimaksud dengan nilai total HPS adalah hasil perhitungan seluruh volume pekerjaan dikalikan dengan harga satuan ditambah dengan seluruh beban pajak dan keuntungan.
Oleh karenanya, dalam menyusun harga perkiraan sendiri, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyusun spesifikasi barang (spek). Setelah spesifikasi ditetapkan selanjutnya pejabat yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Komitmen, baru menyusun harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Sedangkan fungsi penyusunan HPS adalah sebagai alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya, dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk pengadaan, dasar untuk negosiasi harga dalam Pengadaan Langsung dan Penunjukan Langsung dan dasar untuk menetapkan besaran nilai Jaminan Penawaran (1-3% dari HPS).
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Laskar Merah Putih Markas Daerah Jawa Barat (LMP Mada Jabar), Andri Kurniawan menyesalkan dengan adanya dugaan kejadian tersebut. Padahal biasanya kesalahan yang sering terjadi dalam penyusunan HPS, khususnya dalam pekerjaan konstruksi adalah Penyusunan HPS yang dilakukan oleh penyedia dalam hal ini konsultan perencana, termasuk mengcopy sama persis Engineer Estimate (EE) yang disusun oleh penyedia sehingga tidak sejalan dengan ketentuan yang ada didalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018, mau pun Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perlem LKPP) Nomor 12 Tahun 2021 yang menyatakan penyusunan HPS menjadi tugas dari PPK.
“Secara prinsip harga perkiraan untuk penyusunan HPS semestinya mencerminkan harga menjelang pelaksanaan dengan ketentuan paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran untuk pemilihan dengan pascakualifikasi, atau paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran ditambah dengan waktu lamanya proses prakualifikasi,” jelas Andri Kurniawan, Senin (22/07-24)
Masih kata Andri, sehingga dengan umur dari HPS tersebut yang hanya 28 hari kerja, terkadang penyusunan EE itu sendiri sudah lampau waktunya, sehingga mungkin tidak sesuai dengan kekinian harga pasar. Atau terdapat kalkulasi yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Lebih lanjut, Andri mengutarakan, untuk itu pihak yang menetapkan HPS dalam hal ini PPK hendaknya ketika menerima produk EE tersebut melakukan analisis terlebih dahulu atas segenap komponen kalkulasi. Tak menutup kemungkinan melibatkan ahli/tim teknis untuk mengevaluasinya. EE yang sudah dikaji dan dinilai handal sebagai pedoman perkiraan inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Owner Estimate (OE) atau HPS.
“Namun kenyataannya, temuan BPK pada sekian banyak judul kegiatan pembangunan konstruksi di Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Karawang pada Tahun 2022, diduga penyebab utamanya adalah Human Error,” tutur Andri
Oleh karena itu tambah Wakamada LMP Jabar ini, PPK Tahun 2021 harus bertanggung jawab penuh. Pasalnya, antara rentang waktu Tahun 2021 sampai 2022 ada pergantian PPK. Jadi, antara PPK yang melakukan analisis dengan PPK yang merealisasikan, itu beda orang.
“Celakanya lagi, atas dasar temuan BPK yang diduga penyebabnya kesalahan analisis, banyak penyedia jasa yang enggan untuk memulihkan temuan BPK. Secara logis, wajar kalangan penyedia jasa keberatan, karena kesalahan bukan dari penyedia jasa. Melainkan PPK yang melakukan analisis,” sesalnya
Andri menambahkan, kemudian, lebih parahnya lagi. Kepala Bidang (Kabid) yang merealisasikan pembangunan pada Tahun 2022 harus terkena dampak disalahkan oleh Bupati selaku pimpinan. Karena dianggap bahwa temuan BPK yang sangat besar itu diakibatkan oleh keteledoran Kabid yang juga sebagai PPK. Padahal, kondisinya tidak begitu.
“Saran saya, seharusnya Aparat Penegak Hukum (APH), tidak tinggal diam. Segera selidiki permasalahan tersebut, sebab diduga menjadi pemicu terjadinya temuan BPK yang berpotensi pada kerugian uang Negara,” pungkasnya. ***