57 KK Kampung Pemukiman/Pematang Laja Pandegelang Di Intimidasi Oleh Mafia Tanah

Pewarta : DONI ARIEF PADHILAH | Editor : RYAN S KAHMAN

Filesatu.co.id, PANDEGLANG | Sudirman bersama 57 KK di Ujung Kulon sejak Tahun 1982 di relokasi oleh Kementerian Kehutanan melalui pemerintah daerah Pandegelang dari Legon Pakis Taman Nasional Ujung Kulon ke daerah kampung Pemukiman / Pamatang Laja Desa Karang Bolong Kecamatan Cigelis Kabupaten Pandegelang Dan sampai sekarang Sudirman bersama 57 KK masih berada di tempat tersebut

Bacaan Lainnya

Kemudian pada bulan November tahun 2020 ada oknum pegawai Desa yang bernama Kasin sebagai Kepala Dusun ( Kadus) mendatangi dan menyuruh Sudirman serta 57 KK lainnya untuk membeli tanah yang ditinggali, atas dasar tanah tersebut diklaim milik Carrel warga Jakarta.

Menurut keterangan Sudirman, pertama mereka mengintimidasi dengan cara mematok lahan Kami dan menyatakan kalau patok ini dirusak kami akan di hukum katanya kena sangsi 5 tahun

Lalu dirinya dipanggil lagi oleh saudara Kasin (Kadus) bersama oknum Polisi dan dipaksa tandatangan dan tidak tau isi surat tersrbut karna ketakutan.

Kemudian Dirman didatangi lagi oleh Manuel yang menyatakan Kuasa Pemilik sertifikat bersama preman, dan membentak-bentak saya dan keluarga serta menyuruh keluar dan mengosongkan lahan kami.

“Kami sekeluarga ketakutan dan sering sakit karna sering didatangi oknum Polisi dan preman, terakhir dengan di pasang Pelang di depan rumah,” ungkap Dirman

Seperti kita ketahui, dalam penjelasan mengenai tanah absentee didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”).

Hal ini diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA yang berbunyi : “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”

Aturan tersebut merupakan pijakan awal dari pengertian serta pengaturan tentang kepemilikan tanah absentee.

Mereka tidak bisa membuktikan kepada masyarakat yang menguasai lahan tersebut, bahwa mereka memiliki bukti surat yang sah atas kepemilikan tanah yang di tinggali 57 KK tersebut.

Sementara itu menurut Hendra Supriatna ,S.H.,M.H direktur LBH Arya Mandalika menjelaskan, kalaupun mereka memiliki bukti surat atau sertifikat kepemilikan tanah, seharusnya mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pandeglang

“Bukan mengintimidasi dan menakut-nakuti masyarakat.Apalagi menggunakan jasa oknum Kadus dan para preman.”jelasnya.

Lanjutnya, kalau sudah ada kekuatan hukum tetap, maka yang berhak mengeksekusi adalah pihak pengadilan setempat melalui juru sita.

“Maka jelas tanah yang di klaim saudara Carrel termasuk objek tanah telantar. Maka saya akan mohon kan untuk di batalkan sertifikat yang diklaim milik saudara Carrel,” tandas Hendra.

Dikatakan Hendra, terdapat perbedaan jenis keterlantaran tanah yang diatur dalam Peraturan Kepala BPN RI No. 4 Tahun 2010, yaitu tanah yang diindikasikan terlantar dan tanah terlantar. Tanah yang diindikasi terlantar adalah tanah yang diduga tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian.

Sedangkan tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Dalam penjelasan PP No. 11 Tahun 2010 jelasnya, disebutkan bahwa tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan tanah di beberapa tempat masih banyak dalam keadaan terlantar. Akibatnya cita-cita luhur untuk meningkatkan kemakmuran rakyat menjadi tidak optimal.

Padahal tanah merupakan salah satu perwujudan kesejahteraan rakyat, untuk kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial.

“Selain itu, optimalisasi pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi,” pungkas Hendra Supriatna.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *