Filesatu.co.id, Blitar | Pemisahan kewenangan kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan (sebagai kepala eksekutif) dan sebagai pemegang saham BUMD (sebagai pemilik modal) sangat penting untuk menghindari konflik kepentingan dan tumpang tindih.
Kewenangan kepala daerah sebagai pemegang saham bersifat keperdataan yang menitikberatkan pada pengawasan dan penentuan kebijakan strategis, sedangkan kewenangan pemerintahan bersifat administratif yang mengatur penyelenggaraan negara dan pelayanan publik.
“Pemisahan ini diatur dalam undang-undang dan peraturan yang bertujuan untuk memastikan BUMD dikelola secara profesional dan sesuai prinsip good corporate governance,” ungkap Anang T Pramono, A.Md. pengamat ekonomi dari Ormas Gannas, Kamis (23/10/2025) seusai rapat dengar pendapat bersama komisi I, II, IV DPRD serta perwakilan OPD terkait dan direksi BPR PAS di gedung DPRD kabupaten Blitar.
Pemisahan kewenangan
Kewenangan Kepala Daerah sebagai Kepala Pemerintahan:
Bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
“Membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan publik dan administrasi pemerintah daerah. Merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang tunduk pada peraturan perundang-undangan negara, sehingga roda bisnis di perusahaan perusahaan daerah menjadi wewenang direksi,” jelasnya.
Kewenangan Kepala Daerah sebagai Pemegang Saham BUMD.
Bertindak sebagai pemegang saham terbesar (minimal 51% untuk Perseroda) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Mengambil keputusan strategis terkait BUMD, seperti penunjukan direksi dan dewan pengawas, serta persetujuan perubahan modal.
“Menjaga agar BUMD berjalan secara profesional, efisien, dan menguntungkan. Kewenangan ini bersifat keperdataan (bisnis), bukan administratif negara. Sehingga ketika mengeluarkan sebuah keputusan, seorang kepala daerah tidak boleh memaksakan sebuah keputusan sepihak yang bisa merugikan pegawai dilingkungan pemerintah dan atau campur tangan didalam kegiatan pokok bisnis perusahaan daerah yang bisa mengarah dalam usaha menguntungkan kelompok atau golongan,” tandasnya.
Pentingnya pemisahan kewenangan ini untuk Menghindari konflik kepentingan antara lain :
1. Kepala daerah dapat mengarahkan BUMD untuk kepentingan politik atau pribadi yang tidak sejalan dengan tujuan bisnis perusahaan.
2. Meningkatkan profesionalisme, Pemisahan kewenangan memungkinkan BUMD untuk dikelola secara independen dan profesional oleh direksi dan dewan pengawas yang ahli di bidangnya.
3. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi. BUMD dapat fokus pada pencapaian target bisnis tanpa campur tangan birokrasi pemerintahan yang berlebihan.
4. Menciptakan check and balance yaitu Pemisahan kewenangan menciptakan mekanisme pengawasan timbal balik antara kepala daerah sebagai pemegang saham dan pemerintah daerah sebagai regulator.
Anang juga menyampaikan bahwa, Intervensi pemerintah dan politikus dalam bisnis perusahaan daerah (BUMD) dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif. Keterlibatan ini sering kali memicu konflik kepentingan yang berujung pada kerugian finansial, menurunnya pelayanan publik, dan korupsi.
Berikut adalah hal-hal yang dapat terjadi jika pemerintah dan politikus bermain dalam roda bisnis perusahaan daerah.
Bagi perusahaan daerah
Penunjukan direksi yang tidak kompeten, Posisi strategis di perusahaan sering kali diisi oleh “tim sukses” atau kerabat dekat politikus, bukan oleh profesional yang memiliki rekam jejak dan keahlian yang dibutuhkan.
“Akibatnya, kinerja perusahaan menurun drastis. Kerugian finansial, Pengambilan keputusan yang didasari oleh kepentingan politik, bukan pertimbangan bisnis yang sehat, berujung pada inefisiensi dan kerugian. Baru-baru ini, dilaporkan ratusan BUMD mengalami kerugian hingga triliunan rupiah,” imbuhnya.
lebih lanjut Anang juga menyampaikan bahwa, bisnis akan tersandera kepentingan politik, Kebijakan bisnis perusahaan bisa berubah sesuai dengan pergantian kekuasaan atau kepentingan politikus yang berkuasa.
“Hal ini menyebabkan perusahaan tidak memiliki rencana jangka panjang yang stabil dan sulit berkembang. Korupsi dan nepotisme pasti terjadi. Keterlibatan politikus menciptakan peluang untuk praktik korupsi, seperti pengadaan barang dan jasa yang diatur, suap, dan penggelapan dana. Praktik nepotisme juga terjadi dalam perekrutan karyawan, mengurangi meritokrasi dalam perusahaan,” imbuhnya.
Mantan Brand Manager beberapa perusahaan swasta nasional tersebut juga menyampaikan bahwa, Bagi pelayanan publik, Menurunnya kualitas layanan, Perusahaan daerah yang seharusnya fokus melayani masyarakat akan berorientasi pada keuntungan pribadi politikus, bukan pada peningkatan kualitas layanan.
“Contohnya terjadi pada layanan air minum atau transportasi publik yang menjadi buruk. Tarif layanan yang tidak wajar, untuk menutupi kerugian akibat inefisiensi atau korupsi, perusahaan bisa saja menaikkan tarif layanan atau minta tambahan modal yang membebani APBD,” paparnya.
Hal ini jelas merugikan masyarakat karena harus membayar lebih mahal untuk layanan yang buruk. Ketidakstabilan pelayanan, Perubahan kebijakan yang politis dapat menyebabkan layanan publik tidak stabil, terutama saat pergantian kepala daerah.
Program kerja yang sudah berjalan bisa saja dihentikan, lalu diganti dengan program baru yang menguntungkan kelompok tertentu. Bagi perekonomian daerah juga akan menjadi
Beban anggaran daerah.
Bisa dilihat Perusahaan daerah yang merugi akan menyerap banyak anggaran dari pemerintah daerah untuk menutupi defisit. Anggaran ini seharusnya bisa digunakan untuk program pembangunan lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Investasi yang tidak efisien, Keterlibatan politik mendistorsi alokasi investasi dan mengurangi efisiensi dalam penggunaan sumber daya keuangan. Dana yang ada tidak digunakan untuk proyek yang paling produktif, melainkan untuk proyek yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.
“Kerusakan iklim investasi pasti terjadi jika ada Intervensi politik, yang membuat iklim bisnis tidak sehat, sehingga calon investor menjadi enggan untuk berinvestasi. Mereka khawatir akan adanya praktik korupsi, birokrasi yang berbelit, dan ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh kepentingan politis,” tuturnya.
Sebagai warga kabupaten Blitar tentunya beberapa hal diatas bisa menjadi landasan berpikir bahwa, adanya badan usaha milik daerah dapat menjadi lumbung upaya peningkatan perekonomian sehingga pendapatan dari sektor swasta di wilayah ini berjalan dengan baik.
“Akan tetapi jika ada tumpang tindih kepentingan golongan dan politik dalam menjalankan roda bisnis di perusahaan daerah tentu bukan suatu hal yang baik, dan dipastikan jika perusahaan tidak dijalankan dengan profesional, bukan keuntungan yang diperoleh bisa jadi hanya menjadi bom waktu perusahaan tersebut bangkrut, yang merugikan banyak pihak,” pungkasnya. (Pram).



