Photo : Ilustrasi
FILESATU, KOTA SURABAYA – Media sosial sudah menjadi alat yang dipakai masyarakat untuk banyak hal. Selain merupakan alat komunikasi, media sosial juga banyak dipakai untuk menuangkan pikiran-pikiran bagi publik. Mulai dari urusan politik, ekonomi, sosial, budaya serta hal-hal lain yang mampu menyambungkan pengguna internet ke seluruh dunia. Mengutip dari republika.co.id (30/9/2020) Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat pengguna internet di seluruh Indonesia mencapai 175,5 juta jiwa.
Dengan banyaknya pengguna internet serta media sosial, satu persatu persoalan akhirnya juga mengikuti. Mulai dari presiden hingga masyarakat umum mempublikasikan aktivitasnya untuk diketahui orang lain. Bahkan bermacam-macam arus informasi di media sosial serta percakapan tak pelak juga menimbulkan masalah yang tidak sedikit berujung pada masalah hukum.
Hukum negara telah mengatur norma-norma percakapan dan publikasi lewat media sosial menggunakan Undang-Undang. Ekspresi kebebasan berpendapat telah diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Senin (10/5/2021) filesatu.co.id melakukan wawancara bersama aktivis PAKU ITE Anindya Shabrina yang banyak mendampingi kasus tentang informasi dan transaksi elektronik. Kebetulan saat ini PN Surabaya sedang mengadili kasus dugaan pencemaran nama baik dengan terdakwa Stella Monica, yang juga tergabung dalam PAKU ITE (Paguyuban Korban UU ITE).
Mulai Desember 2018 perempuan yang biasa dipanggil Anin ini telah bergabung dalam PAKU ITE. Dalam catatannya Anin menyampaikan bahwa sekitar 300 lebih orang telah berurusan dengan hukum karena persoalan UU ITE. “Pasal 27 ayat 3 merupakan pasal yang mendominasi dalam sengketa hukum,” jelasnya.
“Paguyuban korban ini dibuat dengan tujuan utama mengumpulkan korban dan merumuskan apa yang bisa kita lakukan sebagai korban, karena kita mengamini bahwa UU ITE khususnya pasal-pasal karet adalah pasal-pasal yang membungkam demokrasi dan ada urgensi khususnya bagi mereka yang mempunyai relasi dengan kekuasaan, korporasi dan lain sebagainya,” terangnya.
“PAKU ITE sejauh ini selain mengadvokasi dan mengorganisir korban, kami juga memberikan support emosional dan dukungan moril karena korban UU ITE juga banyak dari masyarakat awam yang tidak terbiasa berhadapan dengan hukum,” tambahnya
Anindya juga menyampaikan bahwa secara pribadi dirinya merasa pesimis pemerintah akan melakukan revisi terhadap UU ITE tanpa ada desakan yang kuat dari masyarakat.
“Mengingat angka 60 persen korban UU ITE dari masyarakat awam kampanye berikutnya adalah bagaimana caranya kita mengkomunikasikan kepada masyarakat bahwa semua bisa jadi korban. Bukan cuma aktivis, jurnalis, dosen atau profesi yang beresiko karena bersinggungan dengan kekuasaan. Tapi relasi antara konsumen dan produsen juga bisa masuk dalam ranah UU ITE seperti kasus Stella Monica yang sedang kita hadapi sekarang,” kata Anindya menerangkan.
“Seharusnya kasus ini sepenuhnya hak konsumen yang bisa diselesaikan sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” kata perempuan yang mengambil studi hukum di Universitas Narotama Surabaya.
Kasus Stella Monica memang merupakan kasus yang mempunyai relasi antara produsen dan konsumen. Stella Monica dilaporkan oleh sebuah klinik kecantikan di Surabaya bernama L’Viors karena diduga telah mencemarkan nama baik sesuai dengan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE.
Berawal dari sebuah postingan di Media Sosial tentang keluhan dan curhatan, tangkapan layar dan dialog di dalam Instagram membawanya pada perkara hukum. Dihubungi lewat sambungan telepon, Stella Monica membenarkan hal tersebut. Stella menerangkan bahwa dirinya diminta untuk membuat iklan permohonan maaf di media cetak nasional selama 3 hari.
“Saya diminta untuk membuat permohonan maaf selama 3 hari dan dimuat di media cetak nasional, Namun hal tersebut tidak bisa saya lakukan, karena tuntutan tersebut bagi saya sangat memberatkan. Menurut informasi resmi dari salah satu media nasional, nilainya mencapai ratusan juta,” katanya.
“Saya juga telah berupaya untuk berdamai dengan mendatangi klinik dan membuat permohonan maaf di Instagram, tapi pihak klinik malah meminta untuk dihapus,” tambahnya.
Filesatu.co.id bertanya tentang bagaimana keluarga dan Stella Monica secara moril menghadapi proses persidangan dengan ancaman penjara?
“Nyerang psikis ya mas, kalo papa orangnya ikutin aja prosesnya, karena papa menganggap salahku tidak fatal. Kalau mama stres dan trauma gitu mas sampai sering kebangun jam 2 pagi,” Stella menjelaskan lewat chatting whatsapp.
Ditemui secara terpisah Arie Hans salah satu dari tim penasehat hukum kilinik L’Viors yang tergabung dalam kantor pengacara HK Kosasih menjelaskan proses hukum yang diambil oleh klinik L’Viors.
“Sebenarnya yang diminta oleh klien kami sangat sederhana, namun hal tersebut belum bisa dipenuhi oleh pihak Stella Monica maupun keluarganya. Klien kami meminta Stella untuk memasang iklan permohonan maaf di media massa nasional, dan kemudian bisa ditindak lanjuti dengan perjanjian damai. Bahwa antara kedua belah pihak sudah selesai, itulah rekonsiliasi terbaik yang bisa dilakukan,” jelasnya.
Terkait proses persidangan yang sedang berlangsung, Arie Hans menyampaikan bahwa siapapun tidak bisa menghentikan proses tersebut. Namun sebagai kuasa hukum klinik L’Viors, dirinya akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu manakala pihak Stella secara tulus mengakui ada kesalahan, dan perbuatan yang mencederai pihak klinik.
“Sebaliknya pihak klinik akan memberikan maafnya, agar kasus ini bisa diselesaikan dengan baik. Jadi penyelesaiannya adalah dengan win-win solution, rekonsiliatif. Dari pihak kami bisa menerima perdamaian ini, sementara pihak Stella tidak merasa dipermalukan dan direndahkan akibat kelalaiannya,” Arie Hans menjelaskan.
Arie Hans juga menjelaskan bahwa dirinya masih berharap proses kesepakatan perdamaian ini bisa berlangsung sebelum 19 Mei 2021 saat proses persidangan dengan agenda putusan sela. Arie Hans juga menegaskan bahwa dirinya menginisiasi perdamaian ini bukan karena adanya opini di pemberitaan bahwa L’Viors takut atau lain sebagainya.
“Apa yang dilakukan Stella, yang menurutnya adalah curhatan dan kemudian terpeselet kedalam masalah hukum bukan kriminalisasi seperti yang banyak berkembang di media. Saya ingin mengingatkan juga bahwa curhat di ruang publik bisa menjadi malapetaka dan persoalan hukum yang serius. Ketika curhat, curhatlah pada tempatnya. Ini bisa menjadi pelajaran bagi siapapun,” tambahnya.
Terakhir Arie Hans berharap supaya masing-masing pihak dapat membuka hati, berpikir jernih agar Stella mendapatkan putusan yang rasional dan berdampak bagi dirinya dan masa depannya sendiri.
“Bagaimanapun, Undang-Undang ITE terkhusus pasal 27 ayat 3 masih merupakan produk hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masih berlaku sampai hari ini,” tutup Arie Hans dalam wawancara bersama filesatu.co.id.*