Filesatu.co.id, SUMENEP | KASUS tewasnya dua nyawa, Sefti Wilda (20) dan bayi yang dikandungnya, akibat dugaan malapraktik fatal oleh Bidan R warga Desa Kolor, Kecamatan Kota Sumenep, Madura, kini menjadi sorotan nasional. Peristiwa tragis pada 14-15 November 2025 ini tak hanya mengungkap kelalaian, namun juga memunculkan kecurigaan serius adanya “kongkalikong” rujukan tertutup yang melibatkan Bidan R dan RSIA Esto Ebhu.
Tragedi dimulai Jumat subuh (14/11/2025) ketika Sefti Wilda, warga Desa Tengeden, datang ke praktik Bidan R untuk melahirkan anak pertamanya. Alih-alih mendapatkan pertolongan, yang terjadi justru penanganan yang diduga amatir dan mematikan:
-
Bayi Tewas di Jalan Lahir: Saksi mata mengungkap kepala bayi terjepit dalam waktu yang sangat lama. Bayi akhirnya lahir dalam kondisi sudah meninggal dunia dengan tubuh membiru, diduga akibat menelan cairan ketuban atau cairan kimia berlebih.
-
Penundaan Rujukan Mematikan: Meskipun kondisi Sefti memburuk drastis setelah bayinya meninggal, Bidan R menunda rujukan fatal ke rumah sakit. Sefti baru dirujuk pada sore hari, dan akhirnya meninggal dunia pada Sabtu pagi (15/11/2025) di RSIA Esto Ebhu.
“Kepala bayinya tersangkut lumayan lama. Bayinya keluar dalam kondisi biru. Ini jelas ada yang salah dalam penanganan,” tegas seorang tokoh masyarakat Kecamatan Batuputih, yang menjadi saksi mata (16/11/2025).
Upaya konfirmasi media terhadap kedua pihak yang paling bertanggung jawab diwarnai aksi penghindaran yang mencurigakan:
-
Bidan R ‘Kabur’ di Puskesmas: Saat ditemui di tempat kerjanya, Puskesmas Pandian (17/11), Bidan R menolak diwawancarai dan buru-buru menghindar dengan dalih ada janji dengan Kabid Dinkes, Haji Nurinsan.
-
Direktur RSIA Esto Ebhu Menghilang: dr. Moh. Ibnu Hajar, Direktur RSIA Esto Ebhu, memilih kabur saat hendak dikonfirmasi di halaman rumah sakit (15/11), meninggalkan serangkaian pertanyaan krusial tak terjawab tentang kondisi pasien dan penyebab kematian.
Anggota Komisi IV DPRD Sumenep, Asy’ari, menduga ada motif tersembunyi di balik penanganan pasien yang mengabaikan protokol medis, terutama terkait pola rujukan. Bidan R diduga melanggar UU No. 4 Tahun 2019 Pasal 46 ayat (1) yang mewajibkan rujukan segera saat terjadi komplikasi, apalagi rujukan hanya diarahkan ke RSIA Esto Ebhu, bukan ke rumah sakit umum daerah yang fasilitasnya lebih lengkap.
“Kalau memang ada hubungan bisnis atau kesepakatan rujukan antara bidan dan rumah sakit yang mengabaikan protokol medis demi keuntungan, ini masuk kategori malapraktik terorganisir. Ini kejahatan korporasi yang harus dihukum berat,” ujar Asy’ari.
Bidan R dan pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan kongkalikong ini terancam hukuman berat berdasarkan berbagai undang-undang. Ancaman pidana tertinggi adalah maksimal 10 tahun penjara di bawah UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 190) atas kelalaian tenaga kesehatan yang mengakibatkan kematian. Selain itu, pelaku juga terancam:
-
UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan (Pasal 79): Pidana 3 tahun penjara atau denda Rp 300 juta karena tidak melaksanakan rujukan hingga mengakibatkan kematian.
-
KUHP (Pasal 359): Pidana maksimal 5 tahun karena kelalaian menyebabkan mati.
-
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Pasal 62): Pidana maksimal 5 tahun atas pelanggaran standar pelayanan.
Bidan R dan Direktur RSIA Esto Ebhu hingga kini belum merespons pertanyaan-pertanyaan media, termasuk kapan komplikasi terdeteksi dan alasan penundaan rujukan, memperkuat dugaan adanya upaya untuk menutupi kesalahan fatal yang telah merenggut nyawa ibu dan anak. ***



