Oleh: Hadi
Belakangan ini, sejumlah media menyoroti penggunaan Belanja Tak Terduga (BTT) di Sidoarjo yang disinyalir tidak sejalan dengan semangat dan ketentuan yang termaktub dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 77 Tahun 2020. Sorotan ini bukan tanpa alasan, sebab BTT bukan sekadar pos anggaran pelengkap, melainkan instrumen fiskal yang sangat spesifik dan terikat aturan ketat.
Lantas, untuk apa sebenarnya peruntukan BTT, dan siapa yang berhak mengeluarkan anggaran tersebut?
Kedaruratan Adalah Kunci
Permendagri 77/2020 adalah kunci utama yang harus dipegang teguh oleh setiap pemegang kebijakan. Inti dari aturan ini sangat jelas: BTT harus memiliki unsur kedaruratan.
Dalam ketentuan Permendagri, dana BTT ditujukan untuk kegiatan yang bersifat darurat, seperti bencana alam atau kejadian yang secara langsung mengancam jiwa dan harta. Saya berpandangan, musibah di pondok Al Khoziny, misalnya, dapat dikategorikan sebagai kondisi darurat yang memenuhi syarat penggunaan BTT.
Namun, yang terpenting adalah prosesnya: untuk menetapkan suatu kejadian membutuhkan BTT, harus melalui kajian teknis yang komprehensif sebelum akhirnya Bupati menetapkan peristiwa tersebut sebagai kondisi darurat.
Mengapa Tangan Saya Bergetar?
BTT tidak mempunyai fleksibilitas ruang anggaran. Ini adalah prinsip yang sering diabaikan. BTT tidak sama dengan pos anggaran lain. Mencampuradukkan BTT dengan belanja rutin sama dengan mencari jalan pintas yang berbahaya dan berpotensi melanggar hukum.
Persoalan muncul ketika BTT digunakan untuk pengembalian dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) PAUD dan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, senilai Rp 1,3 miliar.
Jelas, BKK dan BOP itu bukan peristiwa darurat. Kebutuhan anggaran untuk pengembalian atau administrasi semacam itu seharusnya sudah tersedia dan dapat diakomodasi melalui pos belanja administrasi keuangan rutin. Tidak ada ancaman jiwa atau harta di sana.
Inilah kondisi yang membuat tangan saya bergemetar ketika menulis. Penggunaan BTT untuk keperluan yang sudah seharusnya dialokasikan di pos rutin mengindikasikan bahwa ada yang tidak beres dalam perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah. Ini bukan sekadar masalah administrasi, ini adalah pertanda lemahnya kedisiplinan anggaran dan potensi penyalahgunaan wewenang.
Pemerintah Daerah harus kembali pada prinsip dasar: Patuhi Permendagri 77/2020. Jangan gegabah. Jaminan bahwa BTT hanya digunakan dalam kondisi darurat adalah benteng terakhir pertahanan agar anggaran daerah dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.***



