Amar Putusan melalui E-Court Berubah Menjadi Belum Tersedia, Kuasa Hukum Akan Laporkan PN Karawang ke KY, MA dan Bawas MA

Pengacara kondang Kabupaten Karawang, Dr.Syafrial Bakri, S.H., S.E., M.H., CPCLE
Pengacara kondang Kabupaten Karawang, Dr.Syafrial Bakri, S.H., S.E., M.H., CPCLE

Filesatu.co.id, KARAWANG | PENGACARA kondang Kabupaten Karawang, Dr.Syafrial Bakri, S.H., S.E., M.H., CPCLE, kembali menegaskan ada kejanggalan dalam sistem peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Karawang terkait amar putusan dalam perkara No. 69/Pdt.G/2024/PN Karawang yang sebelumnya diumumkan melalui sistem e-Court pada 30 Desember 2024, mendadak hilang dan statusnya berubah menjadi, “putusan belum siap karena salah satu anggota majelis masih cuti.”

Peristiwa ini memicu kegemparan di kalangan praktisi hukum dan menimbulkan pertanyaan serius terkait transparansi serta akuntabilitas peradilan digital.

Bacaan Lainnya

Dr. Syafrial Bakri, S.H., S.E., M.H., CPCLE., kuasa hukum Wahyudi, pihak yang terlibat dalam perkara tersebut, mengungkapkan keberatannya.

“Pada 30 Desember 2024, tepat pukul 16:00, kami menerima amar putusan melalui e-Court. Namun, ketika kami meminta salinan resmi, kami terkejut karena statusnya berubah menjadi ‘putusan belum tersedia.’ Bahkan, kami diberitahukan bahwa putusan ini ditunda hingga 8 Januari 2025. Ini jelas mengancam prinsip kepastian hukum yang wajib dijaga dalam proses peradilan,” ujarnya

Syafrial menegaskan langkah tegas yang akan diambil.

“Kami akan melaporkan masalah ini ke Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, serta Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Sebelum itu, saya akan mengadukan hal ini kepada Ketua DPD Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI) Jawa Barat, tempat saya tergabung dalam organisasi advokat, untuk memastikan pihak-pihak terkait bertanggung jawab atas ketidakpastian yang terjadi,” tegasnya.

Kasus ini menjadi pukulan telak bagi sistem e-Court, yang sebelumnya dipuji sebagai terobosan digital dalam dunia peradilan untuk mempermudah, mempercepat, dan meningkatkan transparansi proses hukum. Alih-alih memberikan manfaat, sistem ini kini memunculkan kebingungan dan ketidakpastian yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap dunia peradilan.

Sementara itu, Ketua DPD Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI) Jawa Barat turut angkat bicara terkait insiden ini. Ia mendukung langkah hukum anggotanya dan menanggapi permasalahan putusan e-Court perkara No. 69/Pdt.G/2024/PN Kwg.

“Proses pengucapan putusan atau penetapan secara hukum dilakukan dengan mengunggah salinan putusan atau penetapan ke dalam Sistem Informasi Pengadilan (SIP), yang sah menjadikannya dokumen elektronik yang diakui,” jelasnya.

Ia menegaskan, “Putusan yang dibacakan secara elektronik melalui e-Court, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 PERMA No. 7 Tahun 2022 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan yang dibacakan secara fisik dalam sidang langsung. Kami mendukung agar masalah ini dilaporkan kepada KY, MA, dan Bawas MA sebagai langkah awal reformasi untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa depan.”

Kini, perhatian publik tertuju pada langkah selanjutnya. Apakah keadilan akan ditegakkan, ataukah kasus ini akan menjadi bukti bahwa sistem peradilan Indonesia masih jauh dari sempurna? Ketidakpastian ini memunculkan pertanyaan besar mengenai kredibilitas dan transparansi sistem peradilan elektronik yang seharusnya menjadi contoh kemajuan dunia hukum modern.***

Tinggalkan Balasan