Rilis Bukan Sekadar Diterbitkan: Cermin Buram Kemitraan Kominfo dan Pers

Rilis Bukan Sekadar Diterbitkan Cermin Buram Kemitraan Kominfo dan Pers
Rilis Bukan Sekadar Diterbitkan Cermin Buram Kemitraan Kominfo dan Pers

Oleh: Didik Indiyanto

 

Bacaan Lainnya

SIDOARJO-Dalam ekosistem komunikasi publik, rilis berita seharusnya bertindak sebagai jembatan informasi antara lembaga pemerintah dan masyarakat, melalui tangan terampil wartawan. Rilis bukanlah produk akhir, melainkan bahan mentah yang wajib diolah, ditafsir, diverifikasi, dan diperkaya dengan data lapangan agar tersaji secara utuh, berimbang, dan bermakna bagi publik.

Namun, realitas di lapangan, khususnya di Kabupaten Sidoarjo, menunjukkan citra yang buram. Dari sekian banyak wartawan yang terdaftar resmi dalam grup Kominfo, hanya segelintir yang secara konsisten menindaklanjuti rilis menjadi berita yang layak. Mayoritas lainnya, sayangnya, memilih untuk jarang atau bahkan tidak menaikkan satu pun rilis ke media masing-masing.

Lebih mengkhawatirkan lagi, sebagian dari yang memublikasikan rilis justru hanya melakukan salin tempel (copy paste) teks mentah. Mereka memuatnya tanpa pengolahan, tanpa verifikasi, dan tanpa sudut pandang kritis. Padahal, wartawan sejati bertanggung jawab untuk menulis ulang dengan analisis mendalam, kejelian konteks, dan tanggung jawab moral terhadap kebenaran informasi.

“Menulis ulang dengan analisis dan akal sehat adalah bentuk tanggung jawab jurnalis. Rilis yang tidak diolah hanyalah teks mati tanpa makna,” ujar seorang pengamat media lokal di Sidoarjo.

Mendorong Budaya Jurnalistik yang Kritis

Kritik ini tidak bertujuan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengingatkan bahwa kemitraan media bukan sekadar menyebarkan rilis, tetapi tentang membangun ekosistem komunikasi publik yang produktif dan kritis.

Kominfo perlu segera mengubah pola distribusi informasi. Setiap rilis idealnya harus menyertakan DOM (Data, Objek, dan Makna) yang memadai. Langkah ini krusial agar wartawan memiliki pijakan yang kuat untuk mengurai substansi dan menulis sesuai dengan karakter serta etika medianya. Dengan cara ini, akan terlihat jelas siapa yang benar-benar bekerja dengan nalar jurnalistik, dan siapa yang sekadar menjadi penyalin teks.

“Rilis tanpa ruang tafsir hanya mematikan daya kritis wartawan. Padahal jurnalisme hidup dari proses berpikir dan olah makna,” tambah salah satu wartawan lokal.

Peran pers daerah sangat besar dalam menjaga keseimbangan informasi publik. Namun, peran vital itu akan kehilangan bobot bila wartawannya pasif, apalagi jika hanya puas menyalin tanpa olah pikir.

Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas grup media yang dibentuk adalah keharusan. Kondisi di mana banyak nama tercatat namun minim fungsi jurnalistik harus menjadi bahan introspeksi bersama, baik bagi pemerintah maupun insan pers.

Rilis yang baik sejatinya adalah sarana untuk menguji profesionalisme wartawan. Di sinilah tanggung jawab moral Kominfo diuji: bukan sekadar menjadi penyampai informasi resmi, tetapi juga penggerak lahirnya budaya jurnalistik yang sehat, kritis, dan berintegritas.

Menata Ulang Kemitraan: Kualitas, Bukan Jumlah

Komunikasi publik tidak boleh berhenti di ruang obrolan grup WhatsApp. Sinergi antara Kominfo dan wartawan harus hidup di ruang redaksi, di lapangan, dan dalam ruang dialog profesional.

Kominfo perlu berani menata ulang sistem kemitraan media, dengan mengedepankan kualitas partisipasi dan kontribusi, bukan sekadar jumlah nama dalam daftar. Sementara itu, wartawan wajib kembali ke marwah profesinya: menjadi pengolah fakta, bukan penyalin teks; menjadi pembawa kebenaran, bukan penerus pesan kosong.

“Antara Kominfo dan wartawan, komunikasi publik bukan sekadar kirim dan tayang, tetapi olah pikir dan tanggung jawab bersama.”

Tagline Redaksi: Ketika rilis kehilangan makna, jurnalisme pun kehilangan arah. Kini saatnya Kominfo dan wartawan di Sidoarjo menulis dengan nalar, bukan sekadar menyalin dengan jari. ***

Tinggalkan Balasan