Filesatu.co.id, Blitar | Pembangunan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Blitar Jawa Timur yang terletak di Lingkungan Jatimalang, Kelurahan Sentul Kota Blitar sudah mulai dikerjakan. Proyek Kemenkumham RI senilai 15.6 milyar tahun anggaran 2023 tersebut saat ini sedang dilakukan proses pematangan lahan dan turap relokasi.
Pantauan media di lokasi, aktifitas pematangan lahan (pengurugan) berjalan lancar. Nampak tandem roller compactor hilir mudik melakukan pemadatan tanah. Sementara truk pengangkut material tanah juga terlihat keluar masuk lokasi.
Sebuah papan nama proyek berisikan pemberitahuan kepada masyarakat yang melintas di lokasi tersebut menyebutkan sedang berlangsung kegiatan proyek. Papan nama proyek yang didanai dari APBN senilai 15,6 miliar itu justru terlihat seadanya bahkan cenderung asal-asalan, terutama bahan dasar pembuatan papan nama yang mestinya terbuat dari platinum dan berukuran besar namun hanya seperti spanduk/banner berbahan Flexi Cina yang harganya sangat murah.
Tidak hanya materialnya, pemilihan cat nya pun tak boleh sembarangan. Cat yang digunakan haruslah cat yang bisa terlihat pada saat siang ataupun malam hari, jika penggunaan cat tidak sesuai, hal tersebut bisa mempengaruhi daya tarik dari papan proyek tersebut.
Andre selaku pihak pelaksana proyek menyebut bahwa ukuran papan nama sudah standar namun diakuinya bahan dasarnya tidak sesuai standar.
“Ukurannya sudah sesuai standar yaitu minimal 185 cm x 150 cm. Untuk bahan dasarnya nanti akan kita ganti,” ungkap Andre. Minggu (22/10/2023) lalu.
Fakta lainnya yaitu material urugan yang digunakan masih terdapat campuran batu berukuran cukup besar. Sedangkan pada tahapan ini bisa menentukan kualitas dan kemampuan tempat yang hendak dibangun.
Diduga kuat material tanah urug berasal dari pertambangan tanpa ijin resmi (ilegal) di wilayah utara kabupaten Blitar yang menjadi pasokan untuk proses pematangan lahan dan turap pada proyek relokasi Lapas Kelas II B Blitar, yang saat ini sedang berlangsung.
“Dibawa ke Kota Blitar, buat ngurug lahan lapas baru,” ujar seorang warga sekitar tambang menirukan pernyataan sopir pengangkut material tersebut yang enggan disebut namanya.
Dikonfirmasi terkait hal ini, Andre menyampaikan akan menegur sub kontraktor supaya lebih memperhatikan bahan material urugan yang sesuai standar seperti tanah liat, tanah padas atau tanah merah.
“Iya mas akan kami perhatikan masukannya,” tegas Andre.
Regulasi soal larangan menggunakan material dari tambang ilegal telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam aturan itu, terdapat larangan mengambil material dari sumber galian C ilegal untuk mencukupi kebutuhan proyek pemerintah.
Pantauan awak media di lokasi, dalam papan nama proyek, hanya tertera sang pemenang tender, yakni PT. Cahaya Legok Pratama, sedangkan alamatnya disembunyikan. Parahnya lagi, dalam papan nama itu juga tidak tertulis nama dari konsultan pengawas.
Hal ini tentu menimbulkan kesan, bahwa pelaksanaan proyek tersebut diduga sengaja disamarkan. Banyak pihak yang menilai, hal ini mencederai keterbukaan informasi publik.
“Sudah gak ada alamatnya, konsultannya juga gak dicantumkan. Ini ada apa? Mau main slintat-slintut? Ini uang negara loh, pertanggungjawabannya ke publik harus jelas,” ungkap Sadewo, salah satu tokoh masyarakat Kota Blitar.
Hasil penelusuran, titik-titik lokasi tambang yang diduga ilegal tersebut, berada di wilayah aliran sungai lahar Gunung Kelud di Desa Kedawung, Selo Tumpuk, dan Sumberingin, yang merupakan wilayah hukum Polres Blitar Kota. (Pram).