Kabupaten Blitar dan Upaya Menuju Sound Governence

Ket Foto: Fajar SH, Ketua Bidang Komunikasi Publik Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Pimpinan Cabang Kabupaten Blitar, Prihatin Dengan Pembangunan Dikabupaten Blitar Yang Terkesan Pencitraan

Filesatu.co.id, Blitar | Program pemberdayaan masyarakat dengan kualitas internasional atau yang disebut sound government. Kemudian membangun kemitraan dengan agenda membangun visi bersama, berbagi kewenangan, menetapkan nilai, dan menetapkan model mental untuk melihat bagaimana dunia ini bekerja.

Pemerintah harus membangun komitmen kemudian hadir dalam perjanjian antara kedua belah pihak agar timbul rasa saling percaya. Akan tetapi, jika kriteria pemimpin seperti di atas tidak pernah ditemukan, kemudian ada calon datang dengan mulut berbusa – busa dengan visi – misi abstrak, seperti terwujudnya Kabupaten yang mandiri dan sejahtera berlandaskan akhlak mulia, tolong jangan dipilih! Jangan mau jatuh di lubang yang sama. Harus dilihat sebagai kemungkinan lain di mana dunia baru yang lebih harmonis untuk diwujudkan.

Bacaan Lainnya

“Upaya untuk mempersiapkan diri dari dua kemungkinan di atas, Indonesia harus melakukan ikhtiar-ikhtiar tertentu sebagai bentukt terkait dengan wujud keikutsertaan Indonesia dalam perdamaian dunia, tapi juga tentang kedaulatan nasional itu sendiri. ungkap Fajar S.H, Ketua Bidang Komunikasi Publik Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Pimpinan Cabang Kabupaten Blitar, Minggu, (23/07/2023).

Fajar menyampaikan bahwa, ikhtiar yang dimaksud di sini adalah sistem dan tata kelola pemerintahan yang responsif terhadap arus perubahan global, di mana, meminjam Dr. Joko Widodo, MS, dosen Universitas 17 Agustus Surabaya, ‘Indonesia pernah menerapkan rule government kemudian berubah menjadi good governance atau government to governance’.

Rule government adalah sistem penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis, yang menghendaki proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan layanan masyarakat berdasarkan perundang-undangan yang ada.

“Good governance lebih bersifat disentralisasi yang menghendaki keterlibatan tiga domain utama, yaitu, pemerintah (state), sektor swasta (private sector), dan masyarakat (civil society) dalam upaya mempraktikkan sistem dan tata kelola pemerintahan yang baik yang kemudian dituangkan ke dalam UU No. 22 Tahun 1999, lalu berubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004, dan yang terakhir adalah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang terimplementasi melalui pilkada langsung, musrenbang, dan penjaringan aspirasi masyarakat yang membuat hubungan antara masyarakat dengan negara menjadi semakin erat terutama dalam bidang distribusi anggaran,” jelas Fajar.

Fajar melanjutkan, ketika wabah COVID-19 melanda dan peristiwa Rusia-Ukraina meletus yang kemudian menimbulkan gelombang PHK dan resesi ekonomi dunia—sistem dan tata kelola pemerintahan good governance seperti tidak memiliki daya apa-apa.

“Negara mati kutu, sektor swasta gulung tikar, serta masyarakat yang banyak sekali menjadi korban. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran bersama atau paradigma baru dalam melihat persoalan ini bahwa sistem good governance sudah tidak lagi relevan untuk keadaan kita sekarang karena arus globalisasi dan peradaban modern telah membawa kita pada sebuah dunia yang tanpa batas,” lanjut Fajar.

Tidak terkecuali di kabupaten Blitar, jika sistem good governance pernah berhasil mengkultuskan hubungan kawula-gusti atau penguasa – rakyat atau si miskin dan si kaya, maka sound governance akan meinklusifkan hubungan negara miskin dengan negara kaya atau daerah miskin di suatu negara dengan daerah tertentu di negara lain.

“Maka saya pikir, pemerintah Kabupaten Blitar harus mulai memikirkan hal ini mengingat PAD-nya murni berasal dari pajak dan retribusi di mana 65% dari APBD-nya digunakan untuk belanja pegawai. Itulah sebabnya, isu pemerataan selalu memanas dari waktu ke waktu. Ditambah, sedang digarapnya jalan tol Kepanjen-Tulungagung, jika momentum ini tidak segera dimanfaatkan dengan baik untuk memperbaiki diri, maka Blitar hanya akan menjadi jalur perlintasan semata,” tandas Fajar.

Harapan kami sebagai kaum akademisi bahwa, Kabupaten Blitar ke depan membutuhkan pemimpin yang memiliki visi dan misi revolusioner untuk menjawab masalah laten ini.

“Maka dia harus seorang manusia modern, memiliki kebijaksanaan sebagai seorang pemimpin untuk membimbing warganya menjadi masyarakat global, memiliki jiwa bisnis yang dapat dimanfaatkan untuk memunculkan potensi – potensi baru dan merangkul sektor swasta sebagai pendukungnya, serta kekuatan jaringan untuk mendistribusikan potensi yang ada merupakan kriteria yang sangat dibutuhkan oleh Kabupaten Blitar,” pungkas Fajar. (Pram).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *