Berita:filesati.co.id
Banyuwangi, -Bulan Agustus di tahun ini Bangsa Indonesia sudah berusia 75 tahun. Jika disandangkan ke manusia, usia bangsa ini adalah usia yang sudah tidak muda lagi. Dimana di rentang usia-usia tersebut sudah semesti dan sewajarnya bangsa ini menikmati segala jerih upaya yang telah diraihnya. Periodesasi demi periodesasi telah dilewati bangsa Indonesia dengan segala kedinamisan dan capaian-capainnya. Ada capaian yang berhasil adapula capaian yang masih jauh dari target yang dicanangkan. Memang, dibutuhkan mental pejuang dan militansi yang tangguh dalam mengelola bangsa yang besar ini. Sehingga, ketika bangsa ini menghadapi problematika dan tantangan yang menghadang, sudah siap dengan amunisi-amunisi yang mampu menghindarkan rakyatnya dari kesengsaraan dan penderitaan.
Bagaimana heroiknya rakyat Indonesia saat itu dalam mengusir penjajah adalah sebuah bukti bahwa kita bukan bangsa yang mudah menyerah oleh suatu keadaan. Semangat heroik yang tidak kenal menyerah dan pantang mundur tersebut seharusnya juga terpatri di dada generasi-generasi setelahnya. Tentu, tuntutan masa lalu dengan saat ini sangat jauh berbeda namun semangat untuk meraihnya haruslah sama yakni tidak mudah putus asa dan pantang menyerah. Di masa lalu, pemimpin dan rakyat mempunyai suara yang sama untuk memerdekakan bangsa ini dari kungkungan bangsa lain, dan di masa ini sudah sewajarnya pemimpin dan rakyatnya harus memiliki gerak, langkah dan irama yang sama dalam menghadapi tantangan global.
Salah satu dinamisasi persoalan kebangsaan yang terjadi saat ini adalah bagaimana dapat meningkatkan Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Karena dari indikator IPM inilah, seberapa jauh dan mampu bangsa itu memenuhi kebutuhan rakyatnya. Seperti dipaparkan dalam laman resmi Badan Pusat Statistik www.bps.go.id bahwa IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Selain itu IPM dibentuk oleh 3 (tiga) dimensi dasar yakni : Pertama adalah Umur panjang dan hidup sehat. Kedua adalah Pengetahuan dan Ketiga adalah Standar hidup layak. Seperti dijelaskan pada point diatas bahwa grafik tinggi rendahnya IPM di suatu negara, salah satunya adalah bidang pendidikan yang menjadi kuncinya. Artinya bila pembangunan pendidikan di suatu negara itu berhasil maka secara otomatis akan mendongkrak nilai Indek Pembangunan Manusia negara tersebut. Pertanyaan adalah bagaimana dengan achievment Indek Pembangunan Manusia Indonesia khususnya di bidang pendidikan ? apakah sudah sesuai dengan harapan ? karena dari indikator IPM ini dapat dijadikan acuan pemerintah untuk membuat suatu standar kebijakan pembangunan dalam dunia pendidikan. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik di periode 2019, 4 (empat) indikator utama IPM Indonesia yakni Usia Harapan Hidup (UHH), Harapan Lama Sekolah (HLS), Rata — rata Lama Sekolah (RLS) dan Pengeluaran Per Kapita yang disesuaikan pada Purchasing Power Parity (PPP) mengalami kenaikan 0,53 poin atau 0,74% dibandingkan periode 2018. Sementara itu untuk Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata — rata Lama Sekolah (RLS), yang dilansir dari pemberitaan CNBC Indonesia pada tanggal 17 Pebruari 2020 lalu dengan mengkutip hasil rilis BPS menyebutkan “Anak — anak yang pada tahun 2019 berusia 7 tahun memiliki harapan dapat menikmati pendidikan selama 12,95 tahun (hampir setara dengan masa pendidikan untuk menamatkan jenjang Diploma I), lebih lama 0,04 tahun dibandingkan dengan yang berumur sama pada tahun 2018. Penduduk usia 25 tahun ke atas secara rata — rata telah menempuh pendidikan selama 8,34 tahun (hampir setara dengan masa pendidikan untuk menamatkan jenjang kelas IX), lebih lama 0,17 tahun dibandingkan tahun sebelumnya”. Namun secara peringkat versi UNDP atau Human Development Index (HDI) yang diberitakan oleh Tim Riset CNBC INDONESIA menyebutkan IPM Indonesia masih berada di peringkat 6 Asean dan peringkat 111 di dunia dari 189 negara. Di negara — negara Asean, Indonesia masih tertinggal dari Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina. Artinya walau secara year on year (yoy) IPM kita mengalami kenaikan akan tetapi kita masih tertinggal jauh secara capaian dari negara — negara di Asean bahkan di level duniapun. Untuk itu, tidak ada salahnya angka kenaikan IPM Indonesia yang sudah di raih ini dapat dipertahankan serta ditingkatkan agar membaik secara kualitas termasuk di sektor pendidikan.
Disisi lain sering kali kebijakan pendidikan di Indonesia berubah seiiring dengan pergantian tampuk pimpinan kementrian. Tidak menjadi masalah ketika perubahan kebijakan sistem pendiidkan itu membawa dampak positif, hal ini akan meningkatkan mutu dan kualitas dari peserta dan pelaku pendidikan itu sendiri. Namun sebaliknya bila perubahan arah kebijakan sistem pendidikan nasional tidak sesuai dengan kultur masyarakat, tentu akan menjadi permasalahan tersendiri. Apalagi ditengah ancaman pandemi covid-19 yang masih berlangsung dan belum diketahui secara pasti kapan berakhirnya, sektor pendidikan sudah mulai membiasakan dan menyesuaikan perangkat-perangkat pendidikan di pusaran pandemi. Metode dan gaya belajar di tengah pusaran pandemi ini membuat hampir seluruh masyarakat di dunia termasuk di Indonesia menerapkan konsep belajar yang sangat baru dan berbeda dari biasanya. Yang dulunya harus pakai sistem konvensional dimana peserta didik wajib hadir di sekolah dan kampus untuk bertatap muka serta mendapat materi dari guru dan dosen, sekarang peserta didik diberikan kebebasan untuk belajar dengan menggunakan metode media jejaring berbasis tehnologi internet. Artinya persentase bimbingan pengajaran yang dilakukan oleh guru dan dosen sangat terbatas. Peserta didik dituntut untuk mandiri dalam belajar dan mencari kebutuhan pembelajaran sesuai dengan panduan yang diberikan oleh masing-masing institusi pendidikannya.. Penyesuaian metode pembelajaran di era pandemi ini juga memunculkan polemik tersendiri. Ketika semua institusi pendidikan mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi diwajibkan menggunakan metode pembelajaran daring (dalam jaringan) atau online maka persoalan yang muncul tidak semua peserta didik atau institusi pendidikan mempunyai dan memiliki alat komunikasi atau media belajar yang disyaratkan seperti gadget, laptop maupun pc karena faktor sarana, prasarana dan persoalan ekonomi.yang belum merata. Dengan sebagian besar daya beli masyarakat yang menurun karena wabah pandemi covid-19 ini, mengakibatkan proses pembelajaran online tidak optimal ditambah tidak semua wilayah di Indonesia memiliki akses jangkauan internet yang baik, sehingga untuk melakukan kegiatan belajar online mereka harus rela berjalan puluhan kilometer untuk mendaki bukit bahkan naik pohon hanya untuk sekedar mendapatkan akses sinyal internet. Persoalan lainnya adalah sebagian masyarakat khususnya orang tua yang anak-anaknya masih duduk di bangku pendidikan dasar seperti sekolah dasar mengeluh kesulitan karena dituntut menjadi seorang stunt teacher yang harus mendampingi dan mengajari semua materi pembelajaran kepada putra — putrinya, padahal pengetahuan dan kemampuannya terbatas. Bagi orang tua yang mampu secara finansial mungkin akan mengikutkan les tambahan dengan mendaftarkan putra — putrinya pada program pembelajaran aplikasi online yang sudah tersedia. Bahkan banyak orang tua, ada yang berkeluh kesah dan menanyakan sampai kapan sekolah online ini akan berlangsung sementara kebutuhan akan biaya pendidikan tetap berjalan seperti biasanya. Saya kira ini persoalan dan pertanyaan serius yang harus segera dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah agar program pendidikan yang dicanangkan dapat berhasil di situasi saat ini dan jangka panjangnya. Karena dengan adanya pandemi covid-19 ini, minimal telah mengajarkan kepada kita semua untuk senantiasa siap dengan segala perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dan cepat.
Gagasan “Merdeka Belajar” yang dilontarkan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim, bila diamati adalah terobosan yang luar biasa, apakah itu di saat kondisi pandemi atau tidak. Apalagi di situasi tingkat pendidikan di Indonesia masih kalah pamor dengan beberapa negara berkembang lainnya. Menurut salah satu media portal nasional, berdasarkan laporan Programme for International Student Asessment (PISA) yang baru dirilis Selasa 3 Desember 2019 menempatkan Indonesia pada peringkat 72 dari 77 negara. Untuk skor membaca Indonesia ada diperingkat 72 dari 77 negara, sementara skor matematika ada diperingkat 72 dari 78 negara dan skor sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Jika dibandingkan dengan tes PISA 2015, ketiga skor tersebut mengalami penurunan. Penurunan peringkat ini bila dicermati, terjadi bukan semata-mata karena SDM Indonesia kalah kompeten dengan negara lain tetapi karena culture yang dibangun dalam pengelolaan pembelajaran di Indonesia cenderung hanya mengedepankan hasil model kuantatif tanpa dibarengi model kualitatif. Jadi seolah-olah anak yang pandai itu ukurannya adalah bobot nilai akhir tetapi bukan berasal dari kemampuan bepikir dan bernalar secara komprehensif sehingga menghasilkan suatu konsep baru. Ditambah lagi beban belajar yang overload, menjadikan mood dan minat membaca masyarakat menjadi berkurang dan minim literasi. Dengan konsep gagasan yang diusung mas menteri Nadiem Makarim ini diharapkan menjadi solusi dan sebuah lompatan besar bagi perkembangan model pendidikan di Indonesia dimana peserta didik serta pengajar tidak terkungkung dengan model pembelajaran yang membebani dan memberatkan baik secara kurikulum maupun finansial. Sedangkan bagi guru dan dosen dituntut bahkan dipacu untuk lebih produktif dalam memberikan mutu pengajaran yang professional serta mampu mneghasilkan karya-karya tulis yang bermanfaat.
Di sisi lain, jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, dimana dunia pendidikan mengalami pergeseran sistematika akibat pandemi covid-19, Tentu konsep dan gagasan “Merdeka Belajar” ini memberikan makna bahwa proses pembelajaran tidak harus di dapatkan dari rutinitas konvensional di sekolah, perguruan tinggi atau institusi pendidikan lainnya tetapi peserta didik dapat menuntut ilmu dan mengembangkan potensi dan kompetensi diri secara maksimal dimana dan kapan saja melalui saluran media pembelajaran alternative. Namun tantangannya adalah apakah konsep dan gagasan “Merdeka Belajar” yang luar biasa ini benar-benar mampu meningkatkan Indek Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia khususnya di sektor pendidikan? Jawabannya adalah, agar hipotesa yang dihasilkan mengerucut kepada kenyataan dibutuhkan analisa yang mendalam agar tidak menjadi gagasan yang tumpul dan perlu ada keseriusan serta tanggung jawab oleh seluruh stakeholder yang terlibat. Jika gagasan tersebut di kelola dengan serius dan professional, saya merasa yakin bahwa pendidikan di Indonesia akan kembali menjadi primadona dan tuan rumah di negeri sendiri asal komitmen dan konsisten dalam menerapkan tiap-tiap gagasan itu. Pasti ada kekuatan dan kelemahan setiap kebijakan yang diambil, namun tergantung bagaimana pemerintah menyikapi, menyiasati serta mengkombinasikan kekuatan dan kelemahan tersebut menjadi peluang untuk berkembang maju. Untuk itu di usia yang ke 75 tahun negeri ini, sudah sepatutnya bangsa Indonesia mendapatkan kado istimewa dari buah prestasi pendidikan Indonesia dan bukan saatnya lagi pendidikan Indonesia menjadi “penonton” di rumahnya akan tetapi sudah menjadi inspirator dan role model serta barometer bagi pendidikan di dunia.
Oleh : Nur Prasetyo.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi
Opini:artikel ini menjadi tanggung jawab penulis