Kolaborasi Imigrasi dan Unud Lahirkan IMPACT untuk Perkuat Kebijakan Selektif di Bali

Filesatu.co.id, Denpasar – Bali | Tantangan keimigrasian yang kian kompleks, mulai dari isu nomaden digital hingga eksodus WNA ke Bali akibat situasi geopolitik dunia, menuntut kebijakan berbasis data dan riset mendalam. Merespons kebutuhan tersebut, Direktorat Jenderal Imigrasi menggandeng dunia akademik melalui penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) dengan Universitas Udayana (Unud).

PKS yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Jenderal Imigrasi, Yuldi Yusman yang diwakili Direktur Visa dan Dokumen Perjalanan, Eko Budianto dan Rektor Universitas Udayana, I Ketut Sudarsana, ini menitikberatkan pada pengembangan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan penguatan sumber daya manusia.
Acara penandatanganan kerja sama ini digelar di Aula Theatre Lecture Building Lantai 3 Universitas Udayana, Jimbaran, Bali, pada Selasa (2/12/2025).

Bacaan Lainnya

Kegiatan dihadiri Kakanwil Ditjen Imigrasi Bali Parlindungan, Gubernur Bali diwakili Asisten III Sekretariat Daerah Provinsi Bali Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Forkopimda Provinsi Bali, Kakanwil Ditjen Pemasyarakatan Bali, Kakanwil Kementerian Hukum Bali, dan Pejabat Utama di Provinsi Bali.
Pada saat yang sama juga dilakukan PKS dengan Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Pemerintah Kabupaten Klungkung.

Inti dari kerja sama lima tahun ini adalah pendirian Pusat Kebijakan dan Analisis Keimigrasian Indonesia bernama Indonesian Immigration Policy and Analysis Center (IMPACT) di lingkungan Fakultas Hukum Unud. Pusat kebijakan ini diharapkan menjadi wadah riset kolaboratif yang menjembatani kebutuhan praktis Imigrasi di lapangan
dengan kerangka teori dan ilmu hukum yang kuat.

“Kebijakan selektif Imigrasi tidak bisa lagi didasarkan pada insting semata, melainkan harus berbasis bukti (evidence-based policy). Universitas Udayana sebagai perguruan tinggi unggulan di Bali, kami harapkan dapat menjadi mitra strategis dalam memberikan pandangan akademik, alternatif solusi, dan kajian mendalam terhadap dinamika yang terjadi,” ujar Plt. Dirjen Imigrasi, Yuldi Yusman.

Melalui pendirian pusat kebijakan ini, analisis terhadap kasus-kasus sensitif—seperti penyalahgunaan visa untuk bekerja, praktik nominee dalam investasi properti, atau penanganan orang asing dari wilayah konflik—dapat ditinjau dari perspektif hukum dan ekonomi yang lebih komprehensif.

Integrasi Akademik dan Praktis
Rektor Unud, I Ketut Sudarsana, menyambut baik kerja sama ini. Ia menegaskan bahwa ruang lingkup PKS tidak hanya terbatas pada riset, namun juga akan mengintegrasikan isu keimigrasian ke dalam kurikulum dan pengabdian masyarakat.

“Sebagai tindak lanjut PKS ini, Fakultas Hukum Unud, khususnya Program Studi S2 Magister Hukum, akan membentuk mata kuliah wajib Hukum Keimigrasian,” jelas Rektor.

Selain itu, kerja sama ini juga mencakup penyediaan tenaga pengajar praktisi dari
Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mengajar dan menguji karya tulis ilmiah (Tesis dan Disertasi); Kolaborasi Riset tentang aspek hukum dan keimigrasian; Peningkatan Keilmuan SDM Imigrasi melalui program beasiswa kelas khusus S2 dan S3 di Unud; serta Sosialisasi dan Pengabdian kepada Masyarakat, termasuk program Kampus Berdampak
yang melibatkan mahasiswa dalam edukasi anti-praktik nominee dan patroli siber intelektual.

Plt. Dirjen Imigrasi berharap sinergi ini dapat memastikan kebijakan keimigrasian di Bali tidak hanya fokus pada keamanan semata, tetapi juga mendukung pembangunan berkelanjutan dan perlindungan terhadap kedaulatan ekonomi dan budaya lokal.

Kebijakan Keimigrasian di Bali Hadapi Tantangan Kompleks Kebijakan keimigrasian di Bali menghadapi tantangan multidimensi yang kompleks:
berbenturan antara tuntutan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi pariwisata dan keharusan menegakkan kedaulatan negara, hukum, serta norma budaya.

Dinamika ini menempatkan Direktorat Jenderal Imigrasi pada posisi dilematis di tengah derasnya arus globalisasi dan ancaman transnasional.
Hal tersebut dikemukakan Yuldi Yusman dalam Kuliah Umum bertajuk “Strategi Imigrasi dalam Memetakan Masa Depan Bali” yang dirangkaikan dengan kegiatan PKS tersebut.

Yuldi Yusman secara tegas menyatakan bahwa implementasi selective policy atau kebijakan selektif Imigrasi di Bali harus bertransformasi dari sekadar fasilitator pariwisata menjadi benteng kedaulatan yang adaptif.

Dilema Kebijakan Selektif Bali mencatatkan angka kunjungan kumulatif orang asing sebanyak 5.297.869 jiwa per September 2025, yang diproyeksikan menembus 7 juta kunjungan hingga akhir tahun.
Peningkatan signifikan ini, di satu sisi menggerakkan perekonomian lokal, namun di sisi lain melahirkan sejumlah persoalan krusial.
Masalah utama yang dihadapi adalah penyalahgunaan izin tinggal, overstay, pelanggaran hukum, hingga pelanggaran adat istiadat setempat.

“Kemudahan akses yang ditawarkan untuk menunjang pariwisata seringkali
disalahgunakan, menciptakan kerentanan hukum, ekonomi, dan sosial,” ujar Yuldi Yusman.

Lebih lanjut, Yuldi Yusman menyoroti dua kelompok orang asing yang kini menjadi fokus pengawasan. Pertama, Digital Nomads (Nomaden Digital) di mana banyak pekerja daring yang masuk dengan visa turis, namun menjalankan kegiatan profesional dan bahkan mengambil pasar kerja lokal (seperti pengajar yoga, tour guide dadakan), menciptakan ‘grey area’ yang sulit dijangkau oleh penegakan hukum konvensional.

Praktik ini dinilai sebagai bentuk predatory business yang menggerus pendapatan UMKM lokal.
Kedua, lanjut Yuldi Yusman, eksodus geopolitik di mana Bali kini menjadi tujuan utama eksodus orang asing dari negara-negara konflik seperti Rusia dan Ukraina.

Meskipun banyak yang legal, kenaikan tajam kedatangan ini menuntut kemampuan analisis risiko yang lebih tajam dari Imigrasi terhadap isu-isu internasional, status pencari suaka, atau individu yang terkait dengan rezim politik.

Tantangan Kedaulatan Ekonomi dan Budaya Yuldi Yusman menggarisbawahi tiga tren pelanggaran utama yang mengancam kedaulatan hukum dan ekonomi lokal Bali yakni penyalahgunaan visa untuk bekerja.

Orang asing masuk dengan Visa Kunjungan (VoA/B211) namun menjalankan bisnis dan mencari nafkah tanpa Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).

“Overstay kronis. Istilah ini digunakan karena denda Rp1.000.000 per hari, bagi sebagian orang asing dengan penghasilan tinggi masih dirasa ringan,” ujar Yuldi Yusman.

Pelanggaran norma sosial dan budaya oleh orang asing seperti bertindak tidak sopan ditempat suci atau melakukan perbuatan asusila meresahkan publik dan bertentangan dengan visi pariwisata berbasis budaya Bali. Selain itu, lanjut Yuldi Yusman, isu investasi asing ilegal melalui perjanjian nominee (pinjam nama) menjadi tantangan terberat. Praktik ini merugikan WNI dan mengindikasikan pelanggaran prinsip kedaulatan ekonomi.

Kolaborasi Strategis dengan Kampus Untuk menghadapi kompleksitas ini, Imigrasi mengadopsi strategi “Smart Immigration” melalui digitalisasi layanan (E-Visa dan e-VoA) serta penguatan vetting atau latar belakang orang asing dengan basis data intelijen.

Penggunaan Autogate dan Biometrik juga diperluas, namun harus terhubung dengan data kependudukan dan kriminalitas untuk real-time screening.
Namun, Yuldi Yusman menekankan bahwa penanggulangan masalah ini tidak cukup hanya dengan penegakan hukum dan teknologi, melainkan membutuhkan kolaborasi strategis dengan Perguruan Tinggi.

“Universitas Udayana sebagai Perguruan Tinggi Unggulan di Bali memiliki kapasitas untuk menjadi mitra strategis. Peran Perguruan Tinggi bukan sekadar kritikus, namun sebagai pusat riset untuk kebijakan berbasis bukti,” tuturnya.

Mahasiswa, lanjut Yuldi Yusman, dapat membantu Imigrasi dalam Patroli Siber, memantau forum digital nomads dan platform penyewaan properti untuk mengidentifikasi kegiatan bisnis ilegal yang dilakukan orang asing.

“Dengan menempatkan Perguruan Tinggi dan mahasiswa sebagai mitra strategis, Imigrasi Bali dapat bertransformasi dari garda kedaulatan yang defensif menjadi gerbang kedaulatan yang cerdas, proaktif, dan berbasis pengetahuan,” pungkasnya.

Laporan : Benthar

Tinggalkan Balasan