Filesatu.co.id, Madiun | Masyarakat sekaligus petani porang di kampung pesilat pasti belum lupa dengan kedatangan Presiden Jokowi ke Madiun Agustus tahun lalu. Dengan didampingi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa waktu itu, kedatangan Jokowi yakni untuk meninjau langsung pabrik pengolahan porang PT Asia Prima Konjac di Kabupaten Madiun sekaligus berdialog dengan para petani porang.
Dalam kesempatan itu pun, Jokowi menginstruksikan kepada Menteri agar menjadikan porang sebagai komoditas ekspor andalan baru di tanah air. Mengingat, nilai jual porang waktu itu bernilai tinggi.
Hadirnya para petinggi di Madiun kala itu otomatis menjadi pendongkrak semangat bagi para petani porang. Mulai dari petani lama maupun petani baru. Perlombaan pun dimulai. Petani kawakan menggenjot perluasan lahan. Sementara petani baru, rela berkorban meski diluar kemampuan. Keduanya mengedepankan spekulatif. Semakin luas lahan, semakin tinggi hasil yang didapat. Kurang modal, kredit pun ditempuh agar mereka bisa andil dalam membudidayakan dan merasakan kilaunya ‘mutiara hitam’.
Keadaan berbalik, porang yang dulu dipuja-puja kini serasa jadi petaka. Bagaimana tidak, harga saat ini jauh dari ekspektasi para petani. Sebagai catatan, di tahun 2020 saja, harga umbi tembus diatas 10 ribu per kilogram. Sementara katak sebagai benih, bisa tembus 300-400 ribu per kilonya. Pada tahun lalu (2021), umbi produksi mulai turun, tidak mampu menembus angka 10 ribu. Kataknya pun juga turun, di kisaran angka 150 ribu per kilonya. Namun tahun ini kebacut parah, nilai jual sang komoditas ekspor tersebut benar-benar nyungsep. Umbi 2 ribu dan katak 15 ribu.
Petani porang saat ini ibarat “ancik-ancik pucuk ri”(berdiri diatas duri), bertahan dalam kesakitan. Dipanen dengan harga murah atau dibiarkan dengan resiko busuk dalam tanah.
Bagi petani kawakan, rendahnya harga porang saat ini sudah bikin pusing tujuh keliling. Lalu, apa kabar petani pemula yang memulai budidaya dari sumber hutang Bank? Tak bisa dibayangkan, mengawali dan berproses dengan cost tinggi, namun hasil yang didapati bikin sakit hati.
Penyebab rendahnya harga porang saat ini belum diketahui pasti. Rata-rata, para petani hanya sebatas spekulasi, menggunakan hukum ekonomi. Ketika barang langka, harga bisa tinggi. Begitupun sebaliknya, saat barang melimpah, harga pun rendah.
Sudah seyogyanya, pemerintah tak seharusnya lepas tangan begitu saja atas situasi saat ini. Jikapun ada kebijakan baru, kestabilan harga porang harus diperhatikan. Kalau pemerintah sendiri tak ada solusi, petani akan terus berspekulasi. Bukan tentang harga, namun tentang kredibilitas para petinggi.
Di wilayah wilis utara, setidaknya ada ratusan anggota lembaga masyarakat di sekitar hutan (LMDH) yang menjadi petani porang. Mereka tersebar di 3 kecamatan, yakni kecamatan Kare, Dagangan dan Gemarang. Statusnya sebagai petani sekaligus mitra Perhutani di wilayah wilis utara memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian hutan. Selain terjaganya ketersediaan air, hutan lindung di wilis utara juga menjaga Madiun dari terjangan banjir bandang.
Merosotnya komoditas porang, menjadi problem yang besar bagi mereka. Hal itu dikatakan para anggota LMDH wilis utara pada saat menggelar pertemuan rutin bulanan bersama Perhutani. Hadir dalam pertemuan yakni Asper BKPH wilis utara, ketua forkom LMDH wilis utara, Sunarji beserta seluruh anggota LMDH dari 3 Kecamatan, Sabtu (04/06/2022).
Dalam pertemuan tersebut, seluruh anggota LMDH dari Dagangan, Gemarang maupun Kare, mengatakan sedang berada di ujung lesu akibat porang ‘tak laku’. Bingung, was-was, pusing dengan deadline pembayaran KUR yang semakin dekat. Atas nama seluruh anggota LMDH wilis utara, Sunarji selalu ketua forkom berharap pemerintah daerah bisa turun tangan, memberi solusi atas anjloknya porang.
“Kita semua berharap pemerintah Daerah maupun pusat turun tangan, melihat kondisi saat ini, hadir memberi solusi karena mau bagaimanapun juga, Madiun telah ditunjuk sebagai penghasil bibit terbaik, bibit AE 1 oleh pemerintah. Kita semua telah membudidayakan dengan baik, melakukan perawatan dengan biaya tinggi, kami harap Pemerintah bisa memberi jalan keluar maupun toleransi terkait permasalahan ini,” harapnya.