Uji Strategi Dibalik Dapur Gizi

Banyuwangi, filesatu.co.id Semenjak digulirkan program makan bergizi gratis (MBG) oleh presiden Prabowo setahun yang lalu, dampaknya masih belum terlihat begitu signifikan hingga saat ini. Karena masih menemui banyak kendala, seperti murid “keracunan” makanan akibat menyantap MBG tersebut.

 

Bacaan Lainnya

Keracunan sengaja saya buat tanda kutip karena saya anggap itu bukan makanan beracun. Menurut saya makanan beracun berarti makanan itu dicampur racun, dan racun dalam pengertian awam adalah sesuatu yang mematikan. Dan itu sangat tidak mungkin dilakukan di dalam dapur MBG. Karena semua yang bekerja disana juga makan makanan yang sama, pasti ikutan mati.

 

Dalam kasus “keracunan” makanan MBG ini, para siswa memang mengalami mual, muntah dan diare, tapi tidak mati. Dalam dunia kedokteran kondisi seperti itu disebut keracunan makanan. Sedangkan dalam ekspektasi awam keracunan bisa berakibat kematian atau setidaknya mengalami kondisi buruk seperti pingsan.

 

Mungkin kita perlu membuat kosakata baru tentang racun dan keracunan ini. Agar ekspektasi kita tidak salah menafsirkan sesuatu. Karena salah tafsir bisa berakibat fatal juga.

 

MBG ini dilakukan oleh dapur-dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di sekitar sekolah setempat. Biasanya mereka melayani antara 2500-3500 murid. Ketentuan BGN hingga 4000 murid. Jadi bisa mencakup sampai 40 sekolahan per SPPG. Dari Paud hingga SMA/SMK. Namun yang mengalami masalah “keracunan” ini hanya beberapa saja. Tidak banyak.

 

Akibat “keracunan” ini banyak masyarakat dan netizen Indonesia menjadi gaduh. Ada yang meminta program ini dibatalkan karena dianggap tidak berguna dan tidak penting. Membuang-buang anggaran. Ada yang takut anaknya terjadi sesuatu karena keracunan. Dan berbagai macam reaksi penolakan lainya. Meski banyak juga yang tidak mempermasalahkanya dan malah berterima kasih karena bisa membantu gizi anaknya.

 

MBG ini dikendalikan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) dibawah perintah presiden Prabowo langsung. Tidak melalui departemen tertentu seperti kesehatan atau pendidikan. Dan masuk dalam proyek strategis nasional (PSN). Karena bukan masuk dalam naungan kementerian tertentu, makanya MBG diawal terkesan lambat. Menteri keuangan Sri Mulyani waktu itu sepertinya juga kurang sreg, tidak begitu antusias karena dianggap buang-buang anggaran. Tidak ada pajak yang masuk. Makanya pelaksanaan MBG waktu itu agak seret karena uangnya di “incrit-incrit”.

 

Namun semenjak digantikan oleh Menteri Koboi Purbaya Yudhi Sadewa, MBG ini menjadi prioritas pemerintah. Menteri Purbaya paham maksud dari presiden Prabowo. Karena MBG punya multiplier effect yang sangat luar biasa. Memang untuk sementara masih belum terlihat, tapi dalam setahun kedepan pasti akan terasa sekali.

 

Karena MBG ini memutar roda perekonomian dari bawah, yang sangat berbeda dengan di masa presiden Jokowi. Di masa presiden Jokowi ekonomi di putar pada tingkat atas. Dari dalam pemerintahan. Maka tak heran 10 tahun masa Jokowi para PNS seperti di manja pemerintah. Gaji, tunjangan serta fasilitas yang begitu berlimpah. Kalau ada PNS jaman Jokowi tidak makmur hidupnya sepertinya mereka salah setting.

 

Namun sayangnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup para PNS ini harus mengeruk pajak yang sangat besar dari rakyat. Dan yang paling merasakan dampaknya adalah golongan menengah seperti pengusaha kecil dan menengah. Mereka tidak dapat bantuan sosial apapun, malah harus ikut iuran besar berupa bayar pajak demi mencukupi kebutuhan para pegawai negeri ini. Kelompok menengah kolaps.

 

Mereka yang biasanya bisa menggaji karyawan bangkrut dan terpaksa menyapih (PHK) kelompok bawah yang jadi pekerjanya. Sedangkan para PNS yang punya duit banyak tidak bisa memutar gajinya untuk yang dibawah (rakyat) selain keluarga mereka sendiri. Karena mereka tidak punya karyawan. Jadi gak heran ketika PNS yang kelebihan duit berusaha membagikan uangnya kepada “rakyat” yang lain, misalnya menikah lagi.

 

Itulah mengapa di akhir masa pemerintahan Jokowi dan awal pemerintahan Prabowo ekonomi Indonesia meradang dan kembang kempis. Karena perekonomian tidak berputar sebagaimana mestinya yang saling menghidupi. Indonesia hampir kolaps.

 

Masa pemerintahan Jokowi waktu itu seperti seorang anak yang dapat warisan dari bapaknya yang sukses di jaman SBY. Karena ekonomi bagus, maka tabunganya banyak. Otomatis anaknya (pemimpin selanjutnya) punya uang banyak. Maksud si anak uang warisan itu diputar untuk usaha, agar ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Namun ternyata strateginya salah.

 

Perhitunganya meleset. Uang yang digelontorkan di wilayah kekuasaan tidak berdampak pada perekonomian yang dibawah. Ujung-ujungnya ekonomi malah tidak berkembang. Indonesia nyaris bangkrut sewaktu pergantian kekuasaan. Yang apes adalah penerima kekuasaan lanjutan, yakni presiden Prabowo. Itulah yang menyebabkan rakyat marah dan demonstrasi besar-besaran.

 

Dampak ekonomi itu tidak seperti obat sakit kepala yang bisa dirasakan dalam waktu 15-30 menit. Tapi butuh jangka lama. Seperti kalsium dalam makanan yang diberikan kepada anak.  Dampaknya baru terasa ketika anak mulai menginjak usia  12 tahun keatas. Badanya akan tumbuh lebih tinggi daripada yang tidak disuplay kalsium dengan baik.

 

Begitu juga perekonomian. Stimulus keuangan yang digelontorkan hari ini akan terasa dampaknya nanti, satu hingga dua tahun kedepan. Bisa tumbuh bisa juga mati. Ketika mati, untuk menumbuhkan butuh waktu lama lagi. Satu atau dua tahun juga. Sedangkan untuk menyiram (menumbuhkanya) juga butuh modal lagi. Kalau tabunganya (kas negara) masih banyak, negara masih bisa survive. Tapi kalau sudah habis, maka harus ngutang. Kalau ngutang dan gak mampu bayar, maka akan kolaps.

 

Dimasa lalu agar kas negara tetap aman pajaknya dinaikkan. Semua kena pajak. Tukang pajak sudah mirip hantu ekonomi. Menakut-nakuti para pengusaha. Banyak pengusaha yang akhirnya mati karena biaya operasional tinggi, termasuk biaya pajak. Usaha menengah mati, karyawan juga ikutan mati. Dibawah ahirnya terjadi kekeringan perputaran uang. Dan ekonomi seret.

 

Itulah mengapa di dalam pemerintahan Prabowo strategi diubah. Guyuran ekonomi dilarikan ke bawah, terutama MBG ini. Sedangkan yang di atas ditekan. Sehingga hari ini pegawai negeri atau yang berada didalam pemerintah sedikit “tolah-toleh”. Kucuran dananya seret. Semua anggaran dipelototi secara ketat oleh menteri keuangan.

 

MBG itu dibawah naungan BGN dan kementerian keuangan sebagai kasir negara. Tidak bercampur dengan kementerian atau departemen apapun. Masih fresh graduate. Sehingga tidak bisa intip-intip dan bisik-bisik. Beda dengan kementerian lainya. Misal pertanian, perdagangan dan keuangan. Kalau musim panen tiba, menteri pertanian untuk beli gabah harus ijin menteri perdagangan dulu, baru menteri keuangan akan mentransfer uangnya untuk beli.

 

Kalau menteri perdagangan mengatakan stok beras di pasar masih aman, maka menteri pertanian tidak berani membeli gabah petani. Kalaupun mau beli dengan harga yang murah, alasannya stok masih banyak. Begitu sebaliknya dan seterusnya. Makanya petani selalu kalah. Tapi mereka diam-diam impor yang harganya lebih murah lagi, tapi berasnya gak enak.

 

Dengan MBG ini strategi diubah. Uang disebar lewat SPPG. SPPG langsung dari BGN, BGN langsung dari menteri keuangan. Tidak belok-belok. Merata seluruh Indonesia. Tidak bisa memonopoli. Karena nanti akan ribet sendiri.

Pengusaha SPPG mending bersinergi dengan pengusaha lokal sekitar. Seperti petani, nelayan, peternak dan pengusaha UMKM.  Karena kebutuhan MBG itu harus fresh dan higienis. Misalnya beras. SPPG dan petani bisa ketemu langsung tanpa perantara. Berasnya sudah pasti lebih enak, karena beras lokal. Begitu juga sayur mayur, telur, tahu, tempe, ikan dan daging. Bisa dipesan yang masih segar. Kecuali mungkin untuk susu masih banyak yang harus ambil dari perusahaan besar. Karena UMKM masih belum banyak yang mampu menangani berskala besar. Prosesnya terlalu ribet dan butuh modal besar

 

Begitu juga dengan kepemilikan SPPG. Semua masyarakat boleh mengajukan ijin. Prosesnya ketat. Para konglomerat juga bisa ikutan. Karena konsumennya pasti, jualannya juga pasti laku, pasti untung. Meskipun harus sabar. Dan gak bisa ambil untung berlebih. Akan tetapi kendalanya pekerjaan ini butuh ketelitian super ekstra. Gak bisa main-main. Karena resikonya sangat besar. Kalau ada kesalahan sedikit saja, dapurnya bisa ditutup. Jika sang konglomerat punya banyak dapur, maka semua dapur juga akan kena audit. Bisa ditutup semua.

 

Makanya kalau menurut saya, para konglomerat jika ingin masuk dalam bisnis ini harus mikir-mikir. Tidak bisa main monopoli. Baik dapur atau logistik. Paling-paling bisa memonopoli ompreng (food tray) yang tidak setiap waktu harus beli. Bisa jadi sekali beli untuk seumur hidup. Makanya di awal saya mengatakan tidak mungkin makanan itu diracun, sama halnya bunuh diri bagi pengusaha SPPG. Biaya untuk membangun sangat besar.

 

Selain memutar roda perekonomian di bawah lewat logistik, SPPG juga memberdayakan tenaga kerja masyarakat sekitar, kurang lebih 47 orang di setiap SPPG. Dan lebih 100 SPPG di setiap kabupaten. Mereka dibayar sangat layak. Lebih dari upah minimum kabupaten (UMK). Tidak ada batasan usia. Tidak ada kriteria tertentu kecuali kepala dapur, kepala gizi dan admin.

Selebihnya bisa siapapun. Pria atau wanita yang sehat jasmani dan rohani. Memang BGN memberi anjuran usia maksimal 55 tahun. Namun jika usia di atas itu masih sehat dan mampu bekerja juga diterima. Tergantung kebijakan pemilik SPPG.  Seperti Yu Nah Yu Tun. Yakni emak-emak yang sudah gak mungkin bisa diterima kerja di tempat kerja formal lainya. Yang mengharuskan untuk tampil glowing, bersuara merdu, yang bisa menguasai air, angin, api dan udara seperti Avatar. Mereka di gaji bersih, karena dapat makan dari sana.

Mungkin sebentar lagi akan ada perubahan pola marketing dari bank dan leasing kendaraan. Yu Nah Yu Tun sudah bisa mengajukan kredit kendaraan atau keuangan karena sudah punya slip gaji yang selama ini tidak pernah mereka rasakan.

 

Sekarang tinggal yang lain yang tidak terlibat dalam SPPG. Mau kemana untuk bersinergi. Ruang pertanian masih terbuka, misal sebagai penyedia bahan baku. Bisa juga bersinergi dengan petani  sebagai penyedia kebutuhan pertanian. Atau bisa juga untuk kebutuhan nelayan dan peternakan. Agar ekonomi bisa berputar dan masyarakat lebih berdaya.

Opini ditulis oleh Sis Erbewe, pemerhati sosial dan politik, juga editor media filesatu.

 

Tinggalkan Balasan