Filesatu.co.id, Banyuwangi |Melihat peta politik di Banyuwangi yang belum jelas, justru seakan malah menggantung calon yang siap bertarung.
Beberapa calon selalu terganjal dengan kata rekom. “Belum terbit surat keputusan Dewan Pimpinan Pusat partai”.
Padahal daerah lain partai-partai pengusung dan pendukung sudah MoU untuk koalisi. Sedangkan di Banyuwangi masih santai-santai dan tenang-tenang.
Hanya saja untuk yang berkepentingan ini bukan santai-santai, namun seakan di ulur-ulur biar makin kabur dan mengambang.
Memang pesta pertarungan pilkada masih 6 bulanan lagi. Namun seandainya hari ini sudah ada kejelasan langkah, tentu tidak akan mengganggu para kandidat yang sudah siap bertarung.
Karena para kandidat selain petahana tentu butuh sosialisasi agar dikenal masyarakat. Dan ini memang legal dalam demokrasi.
Jika kondisi di ulur seperti ini, tentu sangat menguntungkan petahana meskipun tidak jalan. Karena semua orang tahu bahwa dia akan maju lagi.
Sedangkan kandidat yang akan melawan petahana pasti harap-harap cemas menanti keadaan.
Berjalan duluan tapi di ujung cerita tidak mendapatkan rekom partai pengusung, tentu langkah sosialisasi selama ini akan sia-sia. Karena semua berbiaya.
Sedangkan duduk santai menunggu rekom, waktu yang dipakai sosialisasi akan berkurang. Tentu juga tidak menguntungkan.
Dalam dunia demokrasi, setiap orang yang siap dan mampu bertarung dalam pemilihan adalah sah. Hak semua orang. Karena pergantian pemimpin itu keharusan, maka kita harus menghargai serta mendukungnya. Meskipun kita nanti juga boleh tidak memilihnya.
Namun mengulur dan menghambat lajunya demokrasi tentu sebuah tindakan tidak beretika. Meski seharusnya adalah pelanggaran konstitusi (Karena mainya cantik jadi seakan berjalan wajar, tidak di halangi dan di hambat)
Dan kesan ini sangat kentara sekali di kabupaten paling timur pulau Jawa. Semua partai pengusung belum menentukan siapa calon yang akan diusung nanti. Baik secara mandiri maupun koalisi.
Sedangkan calon-calon yang siap bertarung sudah mulai berjalan melakukan ta’aruf untuk memperkenalkan diri. Tentu akan sangat disayangkan jika harus terhenti karena surat rekomendasi, bukan karena kalah bertarung.
Lalu kita sebagai masyarakat, akankah kita hanya duduk diam menyaksikan fenomena lima tahunan ini? Sedangkan pada kenyataanya, semua nanti juga akan tergantung dengan rakyat sebagai pemilihnya.
Jika hari ini kita semua hanya berdiam diri tanpa ikut memikirkan hal ini, tentu akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi kita kedepan.
Karena kekuasaan akan jatuh pada oligarki atau circle dari satu kelompok yang sama. Yang sudah pasti tidak lagi demokrasi. Namun demokreasi, yakni demokrasi yang sudah di otak-atik pemenangnya.
Lalu sebagai rakyat yang selalu menjadi obyek kekuasaan, bisakah kita melawan? Misal memboikot Pilkada.
(Opini ditulis oleh Wasis, Wakil Ketua DPD Partai Gelora Kabupaten Banyuwangi, 6 Mei 2024)