Merebut Shaba Swagata Blambangan

Pendopo Kabupaten Banyuwangi, Shaba Swagata Blambngan. Dokumentasi wikipedia indonesia.

Filesatu.co.id, Banyuwangi | Kontestasi politik akan kembali  digelar, kali ini adalah pemilihan kepala daerah serentak yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 mendatang. Salah satu daerah yang akan melakukan pemilihan itu adalah kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Di negara kita yang menganut sistem demokrasi, pemilihan kepala daerah juga dilakukan secara langsung melalui sebuah pemilihan umum. Dan siapa yang menjadi calonnya adalah bebas, bisa dari semua unsur masyarakat, baik itu melalui partai politik ataupun secara independen.

Bacaan Lainnya

Meskipun demikian, untuk saat ini para calon bupati Banyuwangi itu masih belum muncul secara resmi termasuk sang petahana sendiri, yakni bupati Ipuk Fiestiandani.

Memang di beberapa media sudah mulai bermunculan nama-nama yang digadang bakal menjadi Bupati atau Wakil Bupati. Seperti salah satunya KH Ahmad Munib Syafaat, pengurus ponpes Darussalam Blokagung atau yang biasa disapa Gus Munib, yang mendeklarasikan diri sebagai calon bupati Banyuwangi.

Akan tetapi semua kandidat-kandidat ini belum memunculkan diri secara  terbuka, hanya sekedar gerilya dengan pertemuan terbatas. Seperti acara ngopi bareng, buka bersama, silaturrahmi ke tokoh-tokoh, baik untuk pengenalan diri ataupun pemantaban tim.

 

Dalam kalkulasi diatas kertas, seandainya Bupati Ipuk Fiestiandani maju lagi, beliau pastinya bisa dengan mudah mengalahkan lawan politiknya. Selain dari rekam jejak prestasinya, juga dari rekam jejak sang suami Abdullah Azwar Anas yang sukses memimpin Banyuwangi dua periode di waktu lalu.

Ditambah lagi dengan naiknya Abdullah Azwar Anas dari seorang mantan bupati lalu diangkat menjadi seorang menteri, yang bukan karena kebetulan dekat dengan presiden. Melainkan adalah karena kemampuan serta kecerdasanya sebagai seorang pemimpin yang visioner.

Sudah barang tentu menjadikan Bu Ipuk memiliki dua kekuatan besar, yakni dekatnya dengan kekuasaan pusat serta orang-orang yang masih setia termasuk rakyat,  yang merupakan modal besar bagi Bu Ipuk untuk tetap bertahan di pendopo Shaba Swagata Blambangan.

Dengan majunya kembali Bu Ipuk untuk mencalonkan diri sebagai bupati Banyuwangi tentu adalah suatu keniscayaan. Karena memang masih mempunyai jatah satu periode lagi.

Dan kita sebagai warga negara dari sebuah sistem negara demokrasi, maka pencalonan ini jangan dianggap sebagai kedinastian politik. Karena proses pergantian pemimpin ini nantinya tetap harus bertarung dengan lawan, dan penentunya adalah siapa yang  mendapatkan suara terbanyak yang dipilih rakyat.

Namun yang perlu jadi perhatian masyarakat, kita tidak boleh hanya terpukau oleh kesuksesan masa lalu dari seorang pemimpin. Walaupun sebagai warga masyarakat kita memang perlu sosok pemimpin yang cerdas dan visioner untuk kemajuan suatu daerah.

Karena ini adalah demokrasi, tentu akan jadi preseden buruk bagi demokrasi dimasa depan. Jika kita hanya terpukau oleh “kesaktiannya” tanpa menyadari bahwa pemerintahan ini harus terus berlangsung dengan sistem bergantian.

Maka dari itu kita perlu memunculkan pemimpin-pemimpin baru yang masih fresh. Yang memiliki ide baru untuk membawa perubahan yang lebih baik lagi.

Kita harus banyak mengedukasi masyarakat bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara itu membutuhkan sirkulasi kepemimpinan agar tidak terjadi absolutisasi kekuasaan.

Atau mungkin dalam bahasa sederhana yang sedikit kasar. Pergantian pemimpin itu seperti bagi-bagi rejeki, agar tidak hanya dikangkangi satu famili atau kroni. Tetapi bergantian, biar semua ikut merasakan.

Sedangkan didalam bahasa yang agak santun dan akademis, kita bisa belajar dari sejarah. Karena menurut ahli sejarah, dimasa lalu Majapahit tumbang karena Gajah Mada tidak mau meregenerasi kepemimpinan, sehingga pada saat Gajah Mada mangkat, Majapahit pun tumbang dengan sendirinya.

Memang terlalu naif jika Banyuwangi disamakan dengan Majapahit, karena sistemnya saja sudah berbeda. Akan tetapi kita perlu sadar dan membuka hati pikiran, bahwa memilih pemimpin bukan hanya untuk kepentingan pribadi, keturunan atau kelompok, namun juga untuk semua masyarakat, baik kawan atau lawan.

Dalam merebut kekuasaan kita harus  bertarung dengan adu gagasan atau ide, namun setelah menang, seorang pemimpin harus kembali menjadi orang tua bagi rakyatnya, baik yang mendukung atau tidak.

Dan yang harus sama-sama kita sadari,  dalam memilih pemimpin bukan karena amunisi pemikat hati, tapi memang satu kesadaran bersama tentang pentingnya seorang pemimpin sebagai mercusuar kehidupan.

Opini ini Ditulis oleh Wasis, Wakil Ketua DPD Partai Gelora Kabupaten Banyuwangi (Banyuwangi, 6 April 2024)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *