Mendamba Kepala Daerah yang Sederhana, Belajar dari Sosok Zohran Mamdani Walikota New York

Ahmad Heru Romadhon Dosen Fakultas Hukum, Universitas Maarif Hasyim Latif
Ahmad Heru Romadhon Dosen Fakultas Hukum, Universitas Maarif Hasyim Latif

Oleh: Ahmad Heru Romadhon
           Dosen Fakultas Hukum –
Unviversitas Maarif Hasyim Latif

 

Bacaan Lainnya

Ketika Zohran Mamdani diumumkan sebagai Wali Kota New York, dunia menoleh bukan karena ia datang dari dinasti politik atau keluarga kaya raya. Ia dikenal justru sebagai aktivis muda yang hidup sederhana, tinggal di apartemen sewaan kecil di kawasan Astoria, Queens, bukan di penthouse mewah yang biasa identik dengan elit kota metropolitan.

Mamdani, putra imigran dari Uganda dan India, menjadi simbol baru politik perkotaan yang berangkat dari semangat pengabdian, bukan kemewahan. Dengan penghasilan yang dulu hanya sekitar US$ 47.000/per tahun, ia menjalani kehidupan yang dekat dengan rakyat biasa yang harus menyesuaikan diri dengan mahalnya biaya hidup kota besar. Kini, setelah terpilih menjadi wali kota termuda sekaligus Muslim pertama di New York, ia berhak menempati Gracie Mansion, rumah dinas wali kota yang dibangun sejak 1744 dan dikenal sebagai “Gedung Putih kecil” di kota tersebut.

Namun menariknya, hingga kini belum ada konfirmasi bahwa Mamdani akan segera pindah ke rumah dinas bersejarah itu. Ia masih menetap di apartemen lamanya, sebuah sikap sederhana yang menjadi cermin nilai yang ia perjuangkan: politik untuk melayani, bukan untuk bergaya.

Sederhana, Bukan Sekadar Gaya Hidup

Sikap seperti Mamdani terasa langka di tengah realitas banyak pejabat publik yang justru memperlihatkan jarak sosial dengan rakyatnya. Rumah dinas sering kali berubah menjadi simbol kemegahan, kendaraan dinas menjadi ajang prestise, dan jabatan politik dijalankan seolah untuk menaikkan gengsi pribadi.

Padahal, inti kepemimpinan publik adalah pelayanan, bukan kemewahan. Sosok seperti Mamdani mengingatkan bahwa integritas dan empati jauh lebih berharga daripada kekayaan atau koneksi politik. Ia datang ke pemerintahan bukan dengan janji bombastis, melainkan dengan rekam jejak pengabdian di komunitasnya, memperjuangkan hak perumahan, layanan publik, dan keadilan sosial di lingkungan akar rumput.

Kehadiran pemimpin yang sederhana sesungguhnya merupakan penegasan moralitas jabatan publik. Kesederhanaan bukan berarti menolak fasilitas negara, melainkan menggunakannya secara proporsional dan beretika. Itulah bentuk tanggung jawab yang sejati terhadap kepercayaan publik.

Pelajaran bagi Indonesia

Kisah Mamdani membawa refleksi penting bagi Indonesia. Kita masih sering melihat calon kepala daerah yang diukur dari berapa besar modal kampanye, bukan dari seberapa kuat pengabdiannya. Banyak yang memperebutkan jabatan bukan untuk membangun, tetapi untuk “mengambil bagian” dari kekuasaan.

Padahal, jabatan publik sejatinya adalah amanah rakyat, bukan hadiah bagi yang paling kaya. Dalam konteks hukum tata negara, kepala daerah memiliki kedudukan sebagai penyelenggara urusan pemerintahan umum yang seharusnya tunduk pada asas-asas pemerintahan yang baik, termasuk asas kepatutan, efisiensi, dan kesederhanaan.

Maka, mendamba kepala daerah yang sederhana bukan sekadar romantisme moral, melainkan kebutuhan nyata bagi bangsa. Sederhana bukan berarti miskin, tetapi bersih hati dan rendah diri di hadapan rakyat yang dilayani.

Kita perlu lebih banyak pemimpin seperti Mamdani, yang keberpihakannya kepada masyarakat muncul dari pengalaman hidup bersama mereka, bukan dari balik pagar tinggi rumah dinas.

Ketika kekuasaan menjadi alat untuk menebar manfaat, bukan menumpuk kemewahan, di situlah wajah sejati seorang pemimpin tampak.

Dan mungkin, dari Gracie Mansion di tepian East River, dunia tengah belajar lagi arti sederhana dalam kekuasaan. ***

Tinggalkan Balasan