Filesatu.Co.Id, Kota Malang – Di akhir bulan Mei 2021, MCW (Malang Corruption Watch) merilis sebuah temuan tentang APBD Kota Malang. Lembaga yang fokus dalam kegiatan pencegahan anti korupsi ini menyampaikan analisis kritis terhadap penggunaan uang rakyat yang dikelola oleh Pemerintah Kota Malang. Berikut rilis yang disampaikan MCW.
Anggaran keuangan publik dikelola oleh pemerintah untuk digunakan untuk kepentingan masyarakat. Disebut anggaran publik karena sumbernya dari rakyat yang diperoleh melalui instrumen pajak, retribusi, dan lainnya. Contoh yang sehari-hari ditemui saat masyarakat membeli makan di restoran dikenakan pajak, saat parkir juga diminta retribusi, menggunakan layanan administrasi kependudukan dikenakan tarif retribusi, dan banyak contoh lainnya. Hasil pemungutan pajak dan retribusi serta sumber lainnya dalam satu tahun berjalan itulah disebut sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Uang yang terkumpul kemudian dipakai sebaik-baiknya bagi kesejahteraan masyarakat atau sering kita sebut anggaran belanja yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahun.
Di Kota Malang, APBD tahun 2021 memiliki rincian anggaran pendapatan sebesar Rp2.250.888.107.652, anggaran belanja Rp2.554.774.610.160, dan pembiayaan Rp78.000.050.480.
Khusus sektor pendapatan, rasio PAD terhadap total pendapatan jika dipersentasekan menemukan angka 34 persen. Artinya, rasio desentralisasi (kemandirian) daerah masih rendah, sebaliknya tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat tinggi. Data tersebut menggambarkan bahwa kinerja anggaran pendapatan daerah masih belum maksimal dalam menggali dan mengelola potensi daerah.
Sementera sektor anggaran belanja terdiri atas belanja operasional sebesar Rp2.141.182.346.151 (83,8 persen), belanja modal Rp347.621.405.726 (13,6 persen), dan belanja tak terduga Rp65.970.858.005 (3 persen).
Dijelaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2020 tentang Penyusunan APBD Tahun 2021 bahwa, belanja operasi merupakan pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi manfaat jangka pendek, seperti belanja pegawai ASN, belanja barang dan jasa, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah dan bantuan sosial. Sementara belanja modal digunakan untuk menganggarkan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan asset tetap dan aset lainnya (manfaatnya jangka panjang), seperti belanja modal tanah, belanja modal peralatan mesin, belanja modal bangunan dan gedung, belanja modal jalan, jaringan, dan irigasi, dan belanja modal aset tetap lainnya, serta belanja modal aset tidak berwujud.
Sayangnya, belanja Kota Malang tahun 2021 banyak terserap untuk operasional birokrasi. Anggaran yang dialokasikan untuk belanja pegawai sebesar Rp1.007.341.945.137 atau 39,42 persen dari total belanja Rp2.554.774.610.160. Sementara itu, alokasi belanja barang dan jasa sebesar Rp1.007.568.456.512 atau 39,43 persen dari total belanja. Diantaranya untuk belanja makanan dan minuman rapat sebesar 27.747.605.990 atau 2,75 persen, belanja barang pakai habis Rp188.109.405.483 atau 18,6 persen, belanja perjalanan dinas Rp67.799.815.000 atau 6,7 persen, dari total belanja barang dan jasa.
Jika diakumulasi belanja yang habis untuk keperluan birokrasi sebesar 67,47 persen. Sangat kontras jika dibandingkan dengan belanja operasional yang langsung berkenaan dengan kepentingan publik seperti bantuan sosial hanya mencapai angka Rp16.605.225.000 atau 0,65 persen. Lebih lanjut, belanja modal untuk pemeliharaan jalan, jaringan, dan irigasi hanya menyentuh angka Rp24.714.907.970 atau 2,45 persen dari total belanja barang dan jasa. Herannya, bahkan lebih kecil dari belanja makan dan minuman rapat para pejabat.
Visi “Malang Bermartabat” sulit terwujud jika pembangunan dan pelayanan publik belum berpihak pada masyarakat. Idealnya, alokasi anggaran dan program yang tertuang dalam APBD Kota Malang setiap tahunnya mengutamakan kepentingan publik. disamping itu pilar pengelolaan keuangan daerah yakni transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif mesti diterapkan.
Data termutakhir menunjukkan transparansi pengelolaan anggaran Kota Malang masih rendah, dari 11 dokumen yang wajib tersedia secara berkala hanya 2 dokumen anggaran yang dapat diakses. Ketika transparansi diabaikan, maka akuntabilitas dan partisipasi publik pasti tidak membumi. Pada titik itu, potensi terjadinya korupsi tinggi. Seterusnya, cita-cita “smart city” juga mandek. Karenanya impian “Malang Bermartabat” yang ideal harus dimulai dari langkah kecil namun konkret; penerapan pilar transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif dengan sungguh..
Temuan Malang Corruption Watch (MCW) di atas menunjukkan bahwa Pemkot Malang dalam mengelolaan anggaran publik belum meprioritaskan kepentingan publik. Sekaligus mengonfirmasi birokrasi Kota Malang kegemukan sehingga menghabiskan anggaran untuk operasional. Pemkot Malang pelit untuk kepentingan publik, royal untuk birokrasi. Kondisi tersebut harus segera dibenahi, jika tidak, jalan berlubang, pelayanan publik bobrok akan terus membersamai masyarakat Kota Malang. Kita tidak menginginkannya, mari kita kawal kerr!
Penulis Oleh : Janwan Tarigan
Jabatan : Badan Pekerja MCW (081360331715).
Opini tersebut murni tangung jawab penulis