Implementasi KRIS dan Transisi iDRG di Bandar Lampung Dipantau BPJS Kesehatan

Anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Siruaya Utamawan, Ketua dan Anggota DJSN didampingi Deputi Wilayah III melaksanakan kunjungan ke RSUD Abdul Moeloek Lampung
Anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Siruaya Utamawan, Ketua dan Anggota DJSN didampingi Deputi Wilayah III melaksanakan kunjungan ke RSUD Abdul Moeloek Lampung

Filesatu.co.id, BANDAR LAMPUNG | DEWAN Pengawas (Dewas) BPJS Kesehatan bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) melakukan kunjungan pengawasan lapangan strategis ke dua fasilitas kesehatan rujukan utama di Kota Bandar Lampung. Kunjungan yang dilakukan pada Kamis (23/10/2025) ini menyasar RSUD Dr. H. Abdul Moeloek (RSUD AM) dan RS Urip Sumoharjo (RSUS).

Kunjungan ini dipimpin oleh Anggota Dewas BPJS Kesehatan, Siruaya Utamawan, didampingi Ketua DJSN, Prof. Nunung Nuryartono, dan Anggota DJSN, Nikodemus Purba. Rombongan juga didukung oleh jajaran BPJS Kesehatan Wilayah III dan Cabang Bandar Lampung, termasuk Kepala Cabang Bandar Lampung, Yessy Rahimi, dan Deputi Direksi Wilayah III BPJS Kesehatan, Yudi Bastia.

Bacaan Lainnya

Prof. Nunung Nuryartono, Ketua DJSN, menjelaskan bahwa tujuan utama kunjungan ini adalah untuk memantau langsung implementasi dan kesiapan fasilitas kesehatan terhadap beberapa isu strategis program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan segera bertransformasi.

“Ini adalah kesempatan vital untuk melihat beberapa aspek isu strategis, khususnya kesiapan rumah sakit terhadap implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), perubahan sistem rujukan menjadi berbasis kompetensi, transisi tarif dari INA-CBG’s ke sistem baru iDRG (Indonesian Diagnosis Related Groups), serta penerapan Rekam Medis Elektronik (RME) yang wajib,” ujar Prof. Nunung.

Di RSUD Abdul Moeloek, rombongan Dewas dan DJSN disambut hangat oleh Direktur Utama, dr. Imam Ghozali, beserta seluruh jajaran direksi.

Dalam presentasinya, dr. Imam Ghozali memaparkan kesiapan RSUD AM terhadap KRIS. Ia dengan bangga menyebut bahwa RSUD AM telah melampaui standar minimal yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. “Dari total tempat tidur yang ada, 77% sudah sesuai standar KRIS, di atas syarat minimal Kemenkes, yaitu 60%. Kebetulan kami saat itu sedang membangun gedung baru, sehingga desainnya bisa langsung disesuaikan dengan 12 kriteria KRIS,” jelasnya.

Selain kesiapan KRIS, RSUD AM juga memfokuskan diri pada peningkatan layanan unggulan. “Target kami di tahun 2026 adalah mencapai kompetensi Utama untuk layanan jantung dan stroke, naik dari status Madya saat ini. Kami tinggal menunggu pengadaan alat dan spesialis stroke yang akan selesai pendidikan di tahun yang sama,” tambah dr. Imam.

Meskipun demikian, kunjungan lapangan mengungkap beberapa tantangan operasional. Salah satunya terkait layanan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pihak RSUD AM menyampaikan bahwa tim dokter IGD terkadang merasa sulit menolak pasien yang datang dari jauh, meskipun kasus yang mereka bawa tidak masuk kategori gawat darurat (non-gawat).

Menanggapi hal ini, Anggota Dewas BPJS Kesehatan, Siruaya Utamawan, menyarankan solusi praktis yang telah diterapkan di RS lain, yakni menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) rumah sakit untuk melayani kasus non-darurat yang datang pasca-triase.

Catatan lain adalah terkait waktu tunggu obat yang masih menjadi keluhan pasien. Pihak RSUD AM merespons dengan menyatakan sedang mengkaji inovasi layanan antar obat gratis bagi pasien JKN yang berdomisili di Kota Bandar Lampung untuk meminimalisir waktu tunggu.

Prof. Nunung dari DJSN secara khusus mengapresiasi filosofi pelayanan “puakhi” (menganggap pasien sebagai saudara) yang diusung oleh Dirut RSUD AM dan berharap RSAM dapat menjadi benchmarking yang baik bagi rumah sakit lain dalam persiapan KRIS.

Kunjungan dilanjutkan ke RS Urip Sumoharjo (RSUS), di mana rombongan disambut oleh Direktur Utama dr. Rio Rimbo, M.H., dan Komisaris Utama dr. H. Taufiqurrahman Rahim, Sp.OG (K).

RSUS menunjukkan kesiapan KRIS yang lebih impresif. dr. Rio Rimbo menyatakan bahwa seluruh ruang rawat inap di RSUS telah 100% memenuhi standar KRIS, bahkan melebihinya dari sisi jumlah tempat tidur per kamar. “Untuk kelas 3 kami isi maksimal 3 tempat tidur, kelas 2 isi 2 tempat tidur, dan kelas 1 isi 1 tempat tidur, ini lebih tinggi dari standar Kemenkes yang membatasi maksimal 4 tempat tidur,” ungkapnya.

Dengan tingkat Bed Occupancy Rate (BOR) mencapai 90% dan 80% pasiennya merupakan peserta JKN, RSUS juga aktif melakukan berbagai inovasi pelayanan, salah satunya adalah menawarkan layanan transportasi online gratis bagi pasien yang akan pulang.

Dalam sesi diskusi, Komisaris Utama RSUS, dr. Taufiqurrahman, menyampaikan dua aspirasi penting kepada BPJS Kesehatan terkait layanan unggulan.

Pertama, terkait layanan radioterapi, di mana 46% pasien radioterapi di RSUD AM merupakan rujukan dari RSUS. “Jika tertunda, stadium penyakit pasien bisa bertambah. Di sini (RSUS) sudah tersedia alat dan SDM. Harapannya bisa segera dikerjasamakan dengan BPJS sehingga pasien JKN tidak perlu menunggu lama,” pintanya.

Kedua, RSUS berharap layanan Kesehatan Nuklir dapat segera dikerjasamakan. Saat ini, belum ada layanan serupa di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) yang bekerja sama dengan BPJS, sehingga pasien harus dirujuk hingga ke Bandung, Jawa Barat.

Isu transisi ke sistem tarif baru, iDRG, menjadi bahasan utama di kedua kunjungan. Direktur Utama RSUD AM, dr. Imam Ghozali, berharap sistem iDRG dapat lebih akomodatif terhadap perkembangan keilmuan modern yang sebelumnya belum diatur secara detail dalam INA-CBG’s.

Menanggapi hal ini, Anggota Dewas BPJS Kesehatan, Siruaya Utamawan, memberikan penegasan mengenai posisi BPJS Kesehatan. “BPJS akan membayarkan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Sudah benar jika RS mendorong Kemenkes mengeluarkan regulasi yang sesuai. Namun, jika keilmuan sudah diakui internasional tetapi di Indonesia belum ada regulasi resmi, BPJS tidak bisa membayarkan karena kami terikat regulasi,” tegasnya.

Sementara itu, Nikodemus Purba dari DJSN menjelaskan bahwa iDRG merupakan sistem yang dikembangkan di Indonesia untuk menggantikan INA-CBG’s yang lisensinya harus dibayar ke Malaysia. “Sistem ini mulai dicoba sejak 1 Oktober 2025 (bulan ini) untuk seluruh RS, minimal selama 6 bulan. Proses transisi ini harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian,” tutupnya di RSUS. ***

 

Tinggalkan Balasan