HUT ke 3 Media Filesatu Bersama Pakar Jurnalistik Ahmad Djauhar Angkat Profesionalitas Wartawan Jangan Hanya Sebatas Amplop

Filesatu.co.id, Jember| Media main-stream (arus utama) dewasa ini mensyaratkan seorang jurnalisnya harus lah sarjana. Tidak harus sarjana ilmu komunikasi, bisa sarjana filsafat, sarjana agama, hubungan internasional, ekonomi dan lain sebagainya yang dilengkapi dengan kursus dan diklat-diklat untuk menambah pengetahuan dan keterampilan profesi.

Alat ukur terbaru terkait profesionalisme yang kaidahnya diterbitkan Dewan Pers untuk wartawan profesional dewasa ini adalah mereka yang sudah bekerja di media jurnalistik paling singkat dua tahun dan telah lulus uji kompetensi wartawan, baik tingkat Muda, Madya maupun Utama.

Bacaan Lainnya

Jadi kalau ada wartawan yang bukan sarjana, dan tidak pernah mengikuti pendidikan dan latihan profesi, belum mengantongi sertifikat UKW, ditambah lagi malas untuk belajar secara mandiri, patutlah diragukan profesionalismenya. Hal inilah yang mendasari Media Filesatu untuk mengajak rekan-rekan media lain untuk menambah wawasan jurnalistik dan kode etik profesi wartawan dengan mengadakan kegiatan persiapan uji kompetensi wartawan (UKW).

Diikuti 60 wartawan dari berbagai daerah di Jawa Timur menghadiri pelatihan UKW dalam rangka HUT Media Filesatu yang ke 3. Bertempat di Pendopo Wisnu Graha Tama Kecamatan Puger Jember, sekaligus pemerintah kabupaten (Pemkab) Jember melalui Kecamatan Puger melaunching kebudayaan Bumi Sadeng Puger sebagai ikon wisata baru di kabupaten Jember, Selasa, (26/09/2023).

Hadir Camat Puger, Dinas Pariwisata Kabupaten Jember, Mantan Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar, Biro Filesatu seluruh Indonesia, Beberapa Media yang tergabung dalam Jaringan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), pengurus Sekretariat Wartawan Indonesia (SWI) DPW Jawa Timur.

Mantan Wakil Ketua Dewan Pers Dua Periode Sekaligus Wakil Ketua Dewan Pengawas Lembaga Pers Dr.Soetomo (LPDS) yang bernaung dalam Yayasan Pendidikan Multimedia Adi Negoro yang diundang media Filesatu sebagai narasumber menyampaikan bahwa,
Profesionalisme adalah harga mati bagi seorang wartawan yang tidak bisa ditawar-tawar. Seorang wartawan dapat dikatakan profesional ketika ia mampu menjaga keseimbangan berita yang ia sajikan, menjunjung tinggi ketidakberpihakan, dan menjaga etika profesinya sebagai wartawan, sebab menjadi wartawan yang sesungguhnya tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan menulis berita, tetapi juga bagaimana ia menjunjung tinggi kode etik profesi jurnalisnya,” ungkapnya mengawali pembekalan wartawan pra UKW kali ini.

Dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 berisi “wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”. Pasal ini menegaskan adanya larangan bagi wartawan untuk menerima segala bentuk pemberian dari narasumber yang dapat mempengaruhi independensinya.

“Independensi seorang wartawan diperlukan untuk menjamin tidak adanya keberpihakan pers agar tercapainya kebenaran informasi ke tangan publik. Hal ini juga berkorelasi dengan adanya kemerdekaan pers yang salah satu fungsinya adalah untuk mengontrol kekuasaan sebagaimana fungsi media sebagai mata, telinga, dan mulut masyarakat,” jelas Ahmad Djauhar.

Ahmad Djauhar melanjutkan bahwa, hal yang patut disayangkan pada status quo adalah banyaknya “penumpang gelap” yang menunggangi kemerdekaan pers. “penumpang gelap” ini datang dari berbagai kalangan, baik itu internal pers (wartawan) atau orang-orang yang memiliki kepentingan terhadap media. Hal ini tentu menciderai marwah dari pers itu sendiri, ini diperkuat dengan fenomena “amplop” sebagai syarat untuk menjadi “penumpang gelap” dalam media.

Fenomena amplop ini bisa jadi datang dari kalangan wartawan yang memaksa narasumber untuk memberikan uang sebagai jaminan pemberitaan atau datang dari narasumber berita yang ingin agar wartawan hanya memuat informasi yang ia inginkan. Darimanapun asalnya, tidak ada satu pun urgensi yang dapat membenarkan wartawan untuk menerima amplop apalagi meminta amplop.

“Ketika seorang wartawan menerima atau meminta amplop, maka secara sah wartawantersebut telah menyalahgunakan profesinya dan melanggar kode etik jurnalistik. Dan dengan demikian, saat itu juga ia bukan lagi wartawan yang profesional, tetapi ia juga adalah wartawan yang telah mencemar citra wartawan lainnya,” lanjut Ahmad Djauhar.

Uang memang sering menjadi godaan terberat yang membuat seorang wartawan lupa akan tanggung jawab dan kewajiban profesinya, maka tidak heran jika M.L. Sten dalam buku Bagaimana Menjadi Wartawan membunyikan .

“Jika Anda ingin kaya, janganlah bekerja di bidang pers, kecuali Anda mempunyai perusahaan sendiri atau Anda seorang penulis terkemuka dalam beberapa perusahaan pers. Jurnalistik bukanlah pekerjaan mudah, tetapi ia dapat membuat seorang wartawan merasa lebih penting dari seorang pengurus bank. Uang adalah penting, tetapi ia bukan pendorong bagi seseorang untuk melibatkan diri dalam bidang media,” tandas Ahmad Djauhar .

Ahmad Djauhar berharap bahwa, fenomena “amplop” dan “wartawan amplop” adalah musuh kita bersama yang harus sama-sama diberantas tidak terbatas pada tanggung jawab pemerintah atau pers, tetapi masyarakat juga harus mengawal agar fenomena ini tidak terus-terus terjadi. Jangan sampai profesionalisme jurnalis yang dijunjung tinggi hanya dihargai sebatas kertas dalam amplop,” tutup Ahmad Djauhar.(Pram).

Tinggalkan Balasan