Filesatu.co.id, KARAWANG | DUNIA pendidikan kembali tercoreng dengan tragedi bullying Karawang di Kecamatan Tirtajaya. Seorang siswi kelas VI SD berinisial NER mengalami patah tulang tangan kanan setelah menjadi korban perundungan teman laki-lakinya. Insiden tragis ini memicu reaksi keras dari wakil rakyat, yang menyoroti darurat perundungan dan mendesak langkah-langkah pencegahan radikal demi sekolah aman dan nyaman.
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat (Dapil X), Hj. Sri Rahayu Agustina, S.H., dari Fraksi Golkar, menegaskan bahwa kasus ini adalah alarm serius. Beliau mendesak pemerintah daerah segera mengambil langkah signifikan untuk mengoptimalkan keamanan sekolah, termasuk dengan penambahan unsur pengawasan orang tua.
Menurut Sri Rahayu, angka kasus bullying di sekolah terus meningkat setiap tahun. Salah satu akar masalah yang ia soroti adalah kebebasan akses terhadap handphone dan media sosial di kalangan anak sekolah, yang memicu perilaku kekerasan karena paparan konten negatif.
“Penyebab utamanya tentu handphone dan media sosial yang sangat bebas. Ini perlu pembatasan ponsel pelajar agar bisa meminimalisir dampak buruk pada perilaku anak-anak kita,” ujar legislator yang akrab disapa Mak Sri ini, Kamis, 27 November 2025.
Selain desakan pembatasan ponsel pelajar, ia menekankan pentingnya peran aktif orang tua dalam pengawasan. Unsur pengawasan orang tua wajib diintegrasikan ke dalam program sekolah untuk memastikan lingkungan belajar benar-benar bebas dari potensi perundungan. Sinergi antara sekolah, guru, dan wali murid adalah kunci terciptanya sekolah aman dan nyaman bagi murid.
Politisi Golkar ini juga mendesak Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Karawang tidak hanya melakukan investigasi, tetapi juga menguatkan Satuan Tugas (Satgas) Anti-Bullying yang sudah ada.
“Pembentukan Satgas ini melibatkan kepolisian dan kejaksaan, jadi harus optimal. Namun, kami minta Satgas ini diperluas dan dipertajam perannya. Satgas harus melibatkan ahli psikolog dan MUI,” tegas Hj. Sri Rahayu.
Keterlibatan ahli psikolog sangat krusial untuk:
- Melakukan pendampingan dan pemulihan psikologis korban.
- Mengidentifikasi akar masalah perilaku pelaku.
- Memberikan edukasi kepada guru dan siswa tentang kesehatan mental.
Sementara itu, keterlibatan MUI penting untuk memperkuat nilai-nilai moral dan etika, memberikan landasan spiritual, dan mendorong pembentukan karakter yang anti-kekerasan dan menjunjung tinggi toleransi di kalangan pelajar. Optimalisasi peran Satgas ini adalah langkah penting agar program pencegahan bukan sekadar formalitas, tetapi benar-benar mampu mendeteksi potensi masalah.
Sri Rahayu juga menyoroti perlunya perlakuan berbeda dalam proses hukum yang melibatkan anak. “Proses hukum anak harus berbeda! Pendekatan diversi dan restorative justice harus diutamakan, tanpa mengabaikan pemulihan korban.”
Saat ini, kasus bullying Karawang ini sedang diproses oleh pihak berwenang. Korban menjalani operasi dan proses pemulihan, didampingi penuh oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), memastikan hak-hak korban terpenuhi.
Upaya pencegahan bullying Karawang melalui pembatasan ponsel pelajar dan penguatan Satgas Anti-Bullying yang melibatkan psikolog dan MUI adalah prioritas utama untuk mewujudkan sekolah aman dan nyaman bagi murid dengan dukungan pengawasan orang tua.***



