Filesatu.co.id, Banyuwangi |Sepertinya kawasan lahan sawah produktif di kabupaten Banyuwangi berapa tahun kedepan bakal mengalami perubahan yang kurang baik, banyaknya bangunan yang berdiri diatas sawah produktif atau kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2 B) berakibat buruk bagi petani dan pangan berkelanjutan juga terancam, mengurangnya hasil panen padi hingga ketidakjelasan nasib para pemilik lahan sawah.
Demikian dikatakan H. Edi Purnomo saat ditemui media Filesatu di kantor kerjanya di desa Wonosobo kecamatan Srono pada Selasa (7/6/2022).
Menurutnya, akibat dampak regulasi kebijakan yang dikalahkan dengan kepentingan yang dilakukan oleh oknum oknum mafia tanah.
“Saya contohkan saja, jelas ada papan larangan soal aturan di kawasan yang tidak boleh dirikan bangunan apapun karena masuk dalam kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B),” kata H. Edi Purnomo mengebu gebu.
“Bahkan dengan jelas disitu berbunyi dalam Undang undang juga Perda Banyuwangi, namun penerapan di lapangan jauh dari kata ditaati, papan himbauan larangan seakan tidak berguna dan tertutup deretan bangunan bangunan yang disinyalir melanggar Perda,” tambahnya.
H Edi sapaan akrabnya, politikus senior dari salah satu Parpol berlambang Bintang dunia tersebut bermasud peduli masa depan lahan berstatus LP2B Banyuwangi serta hak wong cilik sehingga getol dan prihatin melihat keadaan alam produktif yang di kuasai oknum mafia tanah.
Seperti bangunan kawasan sekitar Villa Joglo di desa Banjar kecamatan Licin, tampak kawasan tersebut berjajar bangunan Villa yang semakin bertambah, ironisnya lagi, lahan yang dibeli oknum mafia tanah kemudian dibangun yang hanya dicuplik bagian depan.
“Jadi mereka itu beli bagian depan saja kemudian dibangun, la terus bagaimana nasib sawah dibelakangnya kalau bagian depan sudah di blokir,” kata H Edi nada tinggi saat menjelaskan pada media ini.
Dijelaskan H. Edi, selain kawasan LP2B lahan yang sudah terblokir akses jalannya karena ada bangunan, pasti nasib para pemilik lahan di belakang bakal terancam kerugian di semua sisi.
“Jelas sekarang pertani bertambah susah, hasil panennya untuk dibawa pulang harus memutar jalan lebih jauh.
“Kemudian harga sawah dibelakang mengalami kemunduran harga, kalaupun dijual mau tidak mau mereka yang beli, akhirnya harganya seenaknya, inilah cara mereka oknum mafia tanah dan mereka kompak, la kalau terus bagini bagaimana nasib kedepannya para petani,” jelas H Edi yang dikenal peduli wong cilik.
Selain itu, lanjut H Edi, bagi penegak perda dan hukum semestinya paham betul keadaan, banyaknya pengaduan masyarakat sampai laporan resmi dari berbagai lembaga belum ada tanggapan dari pemerintah daerah setempat.
“Perda disyahkan, papan- papan larangan dipasang, itu semua juga menggunakan uang rakyat, terus kenapa aturan tersebut dilanggar kok petugas bungkam.
“Terus lagi, Satpol PP biasanya garang penjual kaki lima yang melanggar saja diusir diangkut barang dagangan juga lainnya, la ini kok bungkam semuanya, terus ada apa? kata H Edi mantan ketua Pagar Nusa mengakhiri wawancara media ini.
Dari hasil keterangan tersebut media ini melakukan investigasi dilapangan dan menemukan fakta yang sama.
Papan nama dari Pemda Bayuwangi tertuliskan aturan Perda Banyuwangi No 08 tahun 2012 tentang RTRW, bersebelahan dengan bangunan kemudian ada juga papan nama yang terbiarkan roboh.
Menemui salah satu pemilik Villa di lokasi, dia mengisahkan bahwa Villa miliknya dikunjungi hanya saat Weekend bersma keluarga dan saat belinya bersama sama atau kongsi dengan keluarga.
“Villa ini milik keluarga bersama keluarga yang di Surabaya,” kata pemilik Villa berdarah China tersbut.
Kemudian disinggung soal izin dan pembelian sawah dia menjawab bahwa beli tanah sejak tahun 2020 silam dan dibangun villa berstatus mempunyai izin.
“Saya beli masih harga dibawah 101ribu rupiah/meter sekarang sudah mahal,” kata pemilik Villa yang tidak mau disebutkan namanya di media.