Filesatu.co.id, Banyuwangi | Pelaksanaan Pilkada Banyuwangi sebentar lagi akan dilangsungkan. Mesin-mesin politik mulai melakukan pemanasan untuk mempersiapkan calon-calon yang bakal bertarung nanti.
Mesin politik ini mulai bergerak untuk melakukan lobi-lobi dukungan agar nantinya bisa melenggang dengan mudah menuju Pendopo Banyuwangi.
Mereka mulai menawarkan gagasan hingga bingkisan, tentunya agar bisa meraih suara dukungan terbesar sebagai sarat kemenangan.
Hari ini secara total global nasional, pembangunan fisik Indonesia termasuk daerah kabupaten/kota sudah semakin membaik. Tidak hanya Banyuwangi saja, tapi hampir seluruh daerah di Indonesia.
Mulai dari insfratruktur, birokrasi, pendidikan hingga perekonomian. Memang belum sempurna 100%, tapi sudah mengalami kemajuan yang pesat.
Jika dimasa lalu isu-isu pemerataan pembangunan, kesenjangan perekonomian dan pendidikan selalu dipakai untuk bahan kampanye agar bis meraih simpati dan dukungan, namun bagimana dengan sekarang.
Dulu kesenjangan ekonomi akibat banyak orang yang menjadi kaya karena berada di pemerintahan, misal sebagai PNS atau dekat dengan penguasa, seperti kepala negara, atau kepala daerah. Sedangkan rakyat jelata hidup miskin, rumah hanya bilik bambu dengan lantai tanah atau plesteran.
Namun semua sudah mulai hilang. Bahkan hari ini hampir setiap rumah memiliki sepeda motor dan ponsel disetiap anggota keluarganya. Yang merupakan barometer terendah sebagai masyarakat mampu atau kaya.
Dulu isu pendidikan karena banyak anak putus sekolah akibat biaya, juga karena sekolah yang tidak layak akibat bangunan yang rusak. Namun semua sudah mulai dibenahi, bahkan sudah ada sekolah gratis, dan seterusnya.
Akankah isu-isu tersebut masih relevan dipakai untuk mencari dukungan? Membantu mengentaskan kemiskinan dengan program-program atau mengisukan membantu pendidikan alih-alih untuk mencari keuntungan?
Indonesia sudah mulai memasuki bonus demografi, dimana jumlah penduduk usia prosuktif lebih tinggi daripada usia tidak produktif. Termasuk juga di Banyuwangi.
Usia produktif itu antara 15 tahun hingga 64 tahun. Usia dimana mereka masih bisa berkembang biak dan sangat membutuhkan biaya hidup.
Jika keberadaan mereka tidak tercover bidang pekerjaan, tentu akan menjadi bencana kemanusiaan bagi negara kita termasuk Banyuwangi.
Bagaimana tidak, jika kebutuhan hidup harus terus berlangsung sedangkan kemampuan untuk mendapat penghasilan tidak memadai, tentu gambaran negatif akan menghantui kita.
Mulai dari kriminalitas, eksploitasi sexual dan asusila hingga tindakan tidak produktif lain yang merugikan masyarakat hingga pemerintah.
Hari ini kita sudah biasa melihat masyarakat yang seringkali anak-anak muda, bergerombol dijalan meminta sumbangan kematian. Biasanya ketika ada tetangga atau warga setempat yang meninggal.
Atau pada saat ada kendaraan rusak dijalan hingga mengakibatkan kemacetan. Senyampang mengatur lalu-lintas, mereka sekalian membawa kardus untuk mencari sumbangan.
Apakah uang-uang tersebut diteruskan kepada yang menerima? Yakinlah, hanya sebagian saja, selebihnya dibagi rata siapa yang ikut disana.
Seakan itu menjadi sebuah pekerjaan sampingan. Kenapa demikian, adalah karena mereka tidak ada pekerjaan, sehingga setiap momen yang sekiranya bisa dimanfaatkan untuk mencari uang, disana mereka berkumpul dan melakukanya.
Bonus Demografi memang isu nasional. Namun bukan berarti daerah tidak ikut cawe-cawe. Bahkan daerah/kabupaten merupakan ujung tombak bagi kemasyarakatan.
Jika masyarakat suatu daerah/kabupaten telah mandiri secara individu dalam perekonomian, tentu tidak akan menimbulkan dampak sosial kemasyarakatan bagi daerah lainya.
Indonesia di tahun 60an hingga 70an berjuang melawan buta huruf, dan hari ini sudah hampir 100% terealisasi, tidak ada yang buta huruf. Namun sayang ternyata kita masih darurat dalam literasi, termasuk juga Banyuwangi.
Ide gagasan itu berawal dari calon pemimpin atau calon kepala daerah yang ingin mendapatkan dukungan suara terbanyak. Dan tidak mungkin semua ide gagasan itu harus diucapkan dengan lisan, namun kadang harus ditulis dalam bentuk tulisan.
Namun bagaimana jika tulisan-tulisan itu tidak dibaca, sedangkan ketika diucapkan namun tidak keseluruhan bisa ditangkap oleh masyarakat.
Apalagi fenomena hari ini, pengalaman pemilu kemarin. Siapa yang membawa bingkisan paling besar, maka dia yang menang.
Tentu akan sangat merugikan bagi calon yang hanya bermodal ide dan gagasan, meski ide itu sangat logis dan mendukung rakyat.
Karena akan dilibas oleh calon yang membawa bingkisan, meski tidak punya ide dan gagasan. Dan meskipun akan merugikan masyarakat ketika nanti berkuasa.
(Opini ditulis oleh Wasis, Wakil Ketua DPD Partai Gelora Indonesia kabupaten Banyuwangi, /4/2024)